Tulang Rusuk Part 43

  #Tulang_Rusuk Judul : Tulang Rusuk Part 43 : Forever Dalam ruangan seeba putih, Zuhan memandang sendu Arum yang terbaring lemah. Ia usap lembut pipi istrinya, pun mengecvp keningnya. Ada rasa haru serta sakit menyeruak, membuatnya ingin sekali menangis. Ah, bukan hanya ingin, karena kenyataannya, cairan kristal sudah mengintip di sudut mata. Gegas Zuhan mengusapnya sembari menoleh ke sembarang arah. "Yaa Fattaah ..." ucap Zuhan menahan tangis hingga tujuh kali pengulangan sembari mengusap perut Arum. "Pak, Ibu sudah terlalu lemas. Kita harus segera melakukan tindakan operasi caesar." Zuhan semakin panik, ditambah ia mengingat akan bahaya plasenta previa jika Arum memaksa untuk lahiran normal. Berkali-kali, ia membujuk, tetap gelengan kepala yang ditunjukkan Arum. "Izinkan Arum berusaha sekali lagi, Pak," mohon Arum dengan suara yang teramat pelan. "Aku mohon, Rum, jangan memaksa. Please, dengarkan aku." "Sekali ini saja

Tulang Rusuk Part 41

 

#Tulang_Rusuk

Judul : Tulang Rusuk


Part 41 : Gejolak Rasa

Hubungan tak selamanya utuh, selalu ada retak yang mengitari. Pun manusia masih bisa memperbaiki meski rasanya tak lagi sama seperti dulu. Batu-batu terjalan harus dilewati dengan susah payah, hingga berujung tangis bahagia.

Sehari setelah pendarahan yang meresahkan, Arum masih sedikit merasakan nyeri di area perut. Jam sepuluh pagi, ia beranjak dari ranjang dan menuju kamar mandi. Saat membuang bungkus sabun yang tergeletak di lantai, matanya terpaku pada sesuatu berwarna putih dengan kombinasi biru.

Ya, Arum menemukan remasan kertas yang menyembul di balik kantong plastik hitam yang menutupi tempat sampah di kamar mandi. Dengah hati-hati, ia membuka dan membaca isinya. Seketika, dadanya bergemuruh, mengetahui hal genting yang disembunyikan Zuhan. Gegas Arum kembali ke kamar, membangunkan Zuhan yang sedang tertidur pulas.

"Apa ini yang dinamakan janji, Pak?"

Seketika Zuhan terkesiap dan berdiri begitu saja. Lelaki itu merampas paksa dan menyobek kertas usang itu tepat di depannya. Setelahnya, terasa dekapan Zuhan, membuat hatinya semakin bergejolak, menahan kecewa dan amarah.

"Jangan berpikir macam-macam, sayang. Itu sudah berlalu dan tidak akan terulang lagi."

"Jelaskan semua, Pak, jelaskan," mohon Arum memelas.

Arum memohon dengan nada parau, membuat Zuhan menatapnya dengan mata berkaca. Pria itu menuntunnya untuk duduk di ranjang. Sungguh, ia sangat gusar dan semakin gusar saat mendapati Zuhan justru berjongkok tepat di hadapannya.

"Maaf, Rum. Aku pikir dengan menghilang dari kehidupanmu akan mengembalikan tawamu. Nyatanya, semua itu hanya akan memperbanyak air mata."

"Dengan pergi ke Kota Singa, mengatasnamakan gelar pendidikan, bagaimana Pak Zuhan, seorang dosen muda yang dibangga-banggakan mahasiswa, bisa berpikir sepicik itu? Apa yang ada dalam otak njenengan, Pak? Sengaja mendekatkan Arum dengan Mas Syafiq, begitu? Njenengan pikir Arum ini apa, bisa dioper ke sana ke mari?"

Dada Arum bergemuruh. Riak-riak kemarahan begitu membara. Ia berdiri dan membongkar tas mengajar Zuhan. Jemari dan tangannya begitu jeli bekerjasama, memindai setiap dokumen. Entah kenapa, ia ingin sekali tahu apa saja yang telah disembunyikan sang suami. Benar saja, Arum kembali menyorotkan emosi luar biasa saat mendapati sepucuk surat berlambang Pengadilan Agama.

"Tanpa membukanya, Arum sudah tahu isinya, Pak. Apa perlu Arum tandatangani sekarang?"

Ia menangis kencang usai mengatakan semua itu, pun Zuhan merengkuhnya paksa, memohon maaf berulang-ulang.

"Sudah, sayang, sudah. Aku ngaku salah."

"Lepaskan Arum, Pak. Arum ingin menenangkan diri," ucapnya memelan dan merenggangkan pelukan Zuhan.

Ditemani air mata yang masih mengalir deras di pipi, Arum mengepak beberapa pakaian. Tak ia pedulikan segala pinta Zuhan. Gegas ia keluar kamar sembari memegangi area perut yang masih terasa sakit. Entahlah, ia hanya ingin tenang sekarang.

Tes

"Pak, Arum rindu," monolog Arum sembari memandangi foto pernikahannya dengan Zuhan. Air matanya tak bisa dibendung saat ingat pertengkaran hebat dengan suaminya seminggu yang lalu.

Kini, ia berdiri, memandangi langit-langit rumah Pakdhe Hasan. "Sudah satu minggu Arum pergi meninggalkan njenengan, Pak. Kapan njenengan datang menjemput?" lanjutnya lagi.

Lelah berperang dengan perasaan, Arum beranjak keluar. Ia ingin menikmati udara segar setelah terkungkung dengan segala pelik permasalahan. Saat hendak duduk di kursi teras rumah, matanya menangkap sosok pria yang bersembunyi di balik pagar. Seketika embun kembali keluar. 

"Arum nggak mimpi, kan?" tanyanya sendiri sambil mengusap air mata.

Gegas ia berjalan cepat, tak mau kehilangan jejak. Hingga tiba di area pagar pekarangan rumah, Arum berteriak kencang saat lelaki itu mulai menjauh.

"Apa tidak ada rasa rindu untuk Arum?"

Seketika pria itu berhenti sedang Arum terus berjalan ke arahnya. Jarak semakin dekat bersamaan dengan deru napasnya yang mulai tak beraturan, jantung berpacu cepat, pun cairan bening mengalir deras. Tanpa pikir panjang, Arum merengkuh lelaki berkemeja biru itu. Ia rindu, sangat rindu.

"Kenapa njenengan jahat, Pak? Apa njenengan tidak merindukan Arum?"

Arum merasakan rengkuhannya merenggang, menyaksikan Zuhan berbalik dan menatapnya sangat dalam. Terasa sentuhan lembut di pipi, membuatnya semakin menangis sembari memejamkan mata.

"Berdosa sekali jika aku tidak merindukanmu, Rum."

Air mata ikut andil seketika, terlebih Arum. Rasanya ini bukan kali pertama ia menitikkan air mata. Tentu saja,  air mata ini kerapkali jatuh saat ia meratapi rindu yang kerapkali bertamu. Dua insan itu saling merengkuh, melepas rindu. Rasa bahagia riuh berkecipak memenuhi relung jiwa. Setiap deru napas mencuatkan kerinduan, cinta, dan kasih sayang. 

Kini, Arum dan Zuhan menghabiskan waktu untuk bercengkrama di rumah Pakdhe Hasan sebelum kembali pulang. Keduanya bertukar kisah tentang hari-hari yang telah dilalui sendiri tanpa seorang kekasih. Satu hal yang pasti, hati dan jiwa keduanya terasa kosong saat itu.

"Kamu tahu, Rum, hari-hariku hambar tanpamu," ucap Zuhan sambil memainkan jemari tangan kiri Arum.

"Begitupun Arum, Pak. Pulang pergi kuliah juga tak tenang."

"Aku tahu setiap kali kamu menghindar, Rum, dan aku selalu mengawasimu dari kejauhan."

Mendengar itu, Arum menyipitkan mata, menatap suaminya. "Termasuk tadi?"

Sementara Zuhan mengangguk tanpa ada raut kebohongan yang tercetak di wajah.

"Kenapa nggak menghampiri Arum, Pak?"

"Seperti katamu, ingin membiarkan kamu tenang dulu." Zuhan menjeda kalimat, meletakkan tangan kanan di dadanya. "Kalau sudah tenang, rasa rindu di sini semakin menggebu."

Darah Arum berdesir seketika. Ia meraih kedua tangan sang suami, menyatukan jemarinya dengan erat. Tatapannya sungguh hangat, membuat Zuhan ikut hanyut dalam perangai manisnya.

"Jangan pernah ulangi hal-hal konyol lagi, Pak. Arum ingin bertahan dengan Pak Zuhan selamanya."

"Aku berjanji, Rum. Insyaa Allah, kita sehidup sesurga."

***

Bulam demi bulan berlalu, perut Arum semakin membuncit. Dalam ruang tamu, ia dan suami duduk di shofa sembari mengelus buah cintanya yang menginjak umur delapan bulan kehamilan. Sesekali, Arum bertanya perihal gelar sarjana yang telah diraih sedang Zuhan setia mendengar dan menjawab dengan bijak.

"Arum sudah memutuskan satu hal, Pak."

"Apa?"

"Arum akan fokus dengan anak dan njenengan saja, Pak."

Perkataan manisnya mampu membuat mata Zuhan mengembun. Lelaki itu mengusap lembut kepala Arum yang terbalut hijab merah muda. "Trimakasih telah memprioritaskan kami, Umma."

Arum mengangguk dan tersenyum, menyenderkan kepala pada bahu Zuhan. Matanya menerawang ke atas, mengingat-ingat setiap detail kejadian yang telah ia lalui dengan derai air mata. Sungguh tak mudah baginya melewati ini semua. Beruntung, sosok Zuhan selalu berhasil menguatkannya. Dalam lamunan, tak terasa, ia telah meneteskan air mata hingga membuat Zuhan menyentuh dagu dan menelisik matanya dengan lekat.

"Kenapa menangis? Apa ada yang sakit?"

Arum menggeleng cepat dan berhambur ke dalam dekapan Zuhan. "Arum cuma ingin berterimakasih, Pak."

"Untuk apa, hmm?"

"Karena Pak Zuhan sudah sabar membimbing Arum, mau bertahan hingga detik ini."

Zuhan tersenyum hangat mendengar penuturan Arum. Tangannya terus bergerak mengelus kepala sang istri. "Semoga kita berjodoh dunia akhirat, sayang."

Arum mengangguk, mengaminkan doa dan harapan Zuhan. Pun ia selalu berdoa hal yang sama untuk kebaikan keduanya, selalu hidup bersama, mengarungi kebahagiaan hingga mencapai jannahNya.

"Kak."

Suara bariton terdengar tepat di belakangnya, membuat Arum terkesiap dan melepas dekapan Zuhan begitu saja. Ia menyenggol Zuhan, memasang wajah gelisah, sedang Zuhan tersenyum dan mengangguk seolah meyakinkan bahwa semua akan baik-baik saja. Ia pun menoleh ke arah sumber suara, pun dengan Zuhan. Tampak Syafiq berdiri dengan membawa koper hitam berukuran sedang, membuat matanya membulat begitu saja.

"M--Mas Syafiq mau ke mana?"

Sama halnya Arum, Zuhan pias menatap pemandangan di depannya. Gegas ia berdiri dan menghampiri Syafiq. Mata Zuhan begitu jeli memindai tubuh tinggi tegap sang adik, mulai dari caranya berpakaian hingga tas yang dibawa.

"Ada apa ini, Fiq?"

Yang ditanya justru tersenyum sendu dan memberikan selembar kertas pada Zuhan. Sementara Zuhan menerimanya sembari menelan saliva, pikirannya mulai kalut, begitu takut akan hal-hal buruk yang bisa saja memporak-porandakan kehidupannya lagi. Kata demi kata ia baca, bibirnya mengembang pun mata berkaca saat mendapati tulisan German Scholarship Archive. Zuhan menatap lekat sang adik dan merengkuhnya penuh haru.

"Kenapa kabar sebaik ini kamu simpan sendiri, hmm? Apa kamu sudah melupakan kakakmu?"

"Kejutan buat kakak. Maafkan Syafiq, Kak. Hari ini juga, aku harus berangkat. Abah yang ngantar."

Mendengar percakapan adik kakak itu, Arum menelan saliva kasar. Bukan apa-apa, ia merasa Syafiq melakukan ini semua demi menghindari dirinya, pun ia ingat betul bahwa lelaki itu pernah bilang ingin melanjutkan pendidikan di kota kelahiran agar bisa menemani Abah. Kenyataannya? Ah, entahlah, ia tak mau ambil pusing.

Kali ini, Arum tersenyum memandang Syafiq, ia mengangguk sebagai tanda bahwa ia pun begitu bahagia mendengar kabar itu. "Selamat, Mas. Semoga barokah ilmunya. Sering-sering ngabari kami ya, Mas."

Syafiq mengangguk, tak berani menatap Arum dalam waktu yang cukup lama. Semua masih sama, cinta, rindu, beserta kepingan-kepingan kenangan bersama sosok Arumi Khadijah.

"Ayo, Fiq. Han, Rum, kalian di rumah saja."

Titah Abah membuat Arum dan Zuhan mengangguk, pun Syafiq segera berpamitan apda keduanya. Saat berhadapan dan berpamitan pada Arum, ia mati-matian menahan gejolak, berharap yang dicinta tak menyadarinya.

'Sesuai permintaanmu, Arumi, aku berjanji akan mencari penggantimu, tapi aku tidak berjanji untuk melupakanmu. Semoga kamu selalu bahagia bersama kakakku.' bathin Syafiq usai berpamitan dan berjalan keluar.

Di teras rumah, Arum dan Zuhan memandangi mobil Abah Umar yang mulai menjauh. Keduanya saling tatap, kembali menumpahkan segala rasa. Tanpa sadar, pipi Arum kembali basah, pun tatapannya begitu sayu. Namun, bibir ranumnya setia membentuk lengkungan indah hingga menciptakan banyak tanda tanya di hati Zuhan.

"Kenapa menangis lagi, Rum?"

Yang ditanya justru menggeleng sembari mengusap air mata. "Arum beruntung berada di tengah-tengah kalian, Pak. Umi pasti mendidik kalian berdua dengan sangat baik."

Mendengar itu, Zuhan terenyuh. Ia menangkup kedua pipi Arum, mensejajarkan tubuh hingga jarak tatapan begitu dekat.

"Satu hal yang harus kamu ingat, Rum, jaga kestabilan emosi. Perilaku dan Pertumbuhan psikis anak tergantung pada kesehatan emosi orangtuanya."

"Semoga anak kita nanti bisa bersikap cerdas dan bijak seperti njenengan, Pak."

"Juga setabah dirimu, Arumi Khadijah," sambung Zuhan seraya mengecvp kening Arum.

💕💕💕💕


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tulang Rusuk Part 1

Tulang Rusuk Part 14

Tulang Rusuk Part 15