Tulang Rusuk Part 43

 

#Tulang_Rusuk

Judul : Tulang Rusuk


Part 43 : Forever

Dalam ruangan seeba putih, Zuhan memandang sendu Arum yang terbaring lemah. Ia usap lembut pipi istrinya, pun mengecvp keningnya. Ada rasa haru serta sakit menyeruak, membuatnya ingin sekali menangis. Ah, bukan hanya ingin, karena kenyataannya, cairan kristal sudah mengintip di sudut mata. Gegas Zuhan mengusapnya sembari menoleh ke sembarang arah.

"Yaa Fattaah ..." ucap Zuhan menahan tangis hingga tujuh kali pengulangan sembari mengusap perut Arum.

"Pak, Ibu sudah terlalu lemas. Kita harus segera melakukan tindakan operasi caesar."

Zuhan semakin panik, ditambah ia mengingat akan bahaya plasenta previa jika Arum memaksa untuk lahiran normal. Berkali-kali, ia membujuk, tetap gelengan kepala yang ditunjukkan Arum.

"Izinkan Arum berusaha sekali lagi, Pak," mohon Arum dengan suara yang teramat pelan.

"Aku mohon, Rum, jangan memaksa. Please, dengarkan aku."

"Sekali ini saja, Pak. Arum mohon."

Derai Air mata membasahi pipi Arum bercampur dengan keringat yang telah membanjiri kening juga hampir seluruh wajahnya.

Tes

Zuhan tak kuat jika harus mengingat perjuangan istrinya dalam bertarung nyawa. Sesak begitu menohok dada. Biar saja dikata cengeng, ia hanya takut kehilangan istri tercintanya meski pada akhirnya Arum berhasil mewujudkan impiannya untuk melahirkan secara v4gin4l.

"Trimakasih, Sayang. Trimakasih telah berjuang untuk buah hati kita," ucap Zuhan sambil menggendong bayi mungil yang baru saja selesai diadzaninya.

Arum tersenyum tipis. Hanya itu yang bisa dilakukan. Bahkan saat masa IMD, ia harus berjuang mati-matian mengingat tenaganya hampir musnah begitu saja.

Zuhan sedikit membungkuk, mensejajarkan malaikat kecil berjenis kelamin perempuan itu dengan wajah sang istri. Setelahnya, ia tersenyum simpul.

"Bib*rnya sangat ranum, persis bib*rmu, Rum."

Mendengar itu, Arum menarik sudut bibirnya ke atas. Perkataan Zuhan berhasil menyuntikkan semangat tersendiri untuknya.

"Untung hidungnya tidak mirip Arum, Pak."

"Mancung seperti Buyanya, kan?"

Arum mengangguk, membenarkan perkataan Zuhan. Kali ini, ia menoleh, menatap Zuhan dengan penuh harap sedang yang ditatap seolah tersihir, tak mampu berucap apa-apa.

"Pak."

Zuhan terkesiap saat terdengar suara Arum memanggil. "I--iya, Rum."

"Bantu Arum merawat anak kita, Pak."

Ada sensai aneh yang bergerak liar di hati Zuhan saat mendengar penuturan Arum. Entah kenapa, seolah ada yang mematahkan kebahagiaannya sekarang. Sedang Arum setia memandangnya sendu sembari mengelus tangan mungil si kecil.

"Dia anak yang manis, Pak."

Belum sempat Zuhan menjawab, Arum kembali berujar, membuat sang suami merasakan gejolak keresahan. "Rum, kita rawat anak kita sama-sama, ya."

Arum hanya tersenyum menanggapi. Tak berselang lama, dering ponsel terdengar nyaring, membuat Zuhan menoleh ke meja yang tak jauh dari jangakauannya. Gegas lelaki itu mengambil dan menerbitkan senyuman saat menyadari siapa yang menelepon. Sedang Arum memandangnya heran seolah bertanya siapakah gerangan.

"Adikku, Rum."

Tak menghiraukan sang istri, Zuhan mengangkat panggilan dan mulai berbicara tatap muka dengan Syafiq Albana.

"Assalamualaikum, Kak. Maasyaa Allah, mana keponakanku, Kak?"

"Waalaikumsalam." Zuhan menjeda sejenak sambil memasang tripod hingga Syafiq mampu melihat dirinya, Arum, juga anak yang digendong.

"Lihat, Fiq. Dia sangat cantik seperti Ummanya."

Zuhan menatap bayi mungilnya penuh haru, pun Syafiq yang tampak memandang dengan mata mengembun.

"Barakallah, Kak. Syafiq ikut bahagia."

Arum dan Zuhan saling pandang. Nada bicara Syafiq terasa berat seolah menahan rasa sakit di kerongkongan. Sedang Arum begitu mampu merasakan apa yang sedang bergejolak dalam hati Syafiq.

Sejenak, Zuhan menegang saat mendapati Arum yang menggenggam erat jemarinya. Telapak tangannya begitu dingin, pun napasnya tersengal. Gegas Zuhan meletakkan bayinya dalam box dan berbisik lirih pada Arum.

"Rum, ada yang sakit?"

Arum hanya menggeleng dan mengeluarkan air mata. Bahkan untuk berkata 'tidak' begitu susah. Sungguh, perempuan itu sama sekali tak punya tenaga.

"Arum, sayang, jangan bercanda. Aku mohon."

"Sakit, Pak. Arum sudah lelah."

Ah, Zuhan sama sekali tak menangkap raut kebohongan. Arum memang begitu lemas, pun sangat pucat. Hingga Arum semakin tak kuat dan mulai lelap.

"Arumi, buka mata, Arumi!" titah Zuhan saat mendapati Arum hendak memejamkan mata dan bernapas dengan sangat lemah.

Syafiq yang menyaksikan pemandangan itu pun tampak ikut cemas. "Arumi, kenapa? Bertahanlah. Kak, panggil dokter cepet!"

"Arum, ya Allah." Zuhan begitu histeris saat mata Arum benar-benar terpejam.

"Kak, cepet panggil dokter. Jangan hanya nangis di situ!" bantah Syafiq begitu keras dari balik ponsel.

Zuhan mengusap wajah kasar dan berlari menuju ambang pintu sembari berteriak kencang. "Dokter! Dokter!"

Gegas ia kembali mendekat ke arah Arum. Ia setia menggoncang bahu sang istri agar tidak benar-benar terpejam. Entahlah, ia sungguh kalut. Kali ini, ia menangis, sambil menepuk-nepuk pipi Arum. "Sayang, bertahan ya."

Tak ada harapan, perempuan itu sungguh lemah dalam menarik dan menghembuskan napas, pun tak kunjung membuka mata. "Arum! Dokter!"

Zuhan mengusap air mata kasar dan berbisik lirih tepat di teling kiri Arum. "Aku tahu, kamu wanita kuat, sayang. Berjanjilah untuk bertahan dan merawat anak kita bersama."

Sungguh, ia menangis mengatakan semua itu. Otaknya tak bisa berpikir jernih, hanya bisa menunggu hingga dokter datang mengecek keadaannya.

"Kamu wanita kuat, Arumi. Bertahanlah untuk suami dan anakmu," harap Syafiq yang telah mengeluarkan air mata sedari tadi menyaksikan tamabatan hatinya yang tergolek lemas.

***

Ruang depan tampak sunyi dan sepi. Zuhan memandang sendu anaknya yang tertidur di kasur lantai. Tampak beberapa mainan khas balita perempuan berserakan di mana-mana. Sesekali, ia tersenyum, pun menitikkan air mata. Disentuhnya jemari mungil buah cintanya bersama Arumi Khadijah. Pun ia mengecupnya penuh cinta sembari menyematkan doa.

"Barakallah. Tangan ini adalah bentuk kasih sayang, Nak. Langitkan doa untuk Umma juga Buya setiap waktu."

Tepukan bahu membuat Zuhan menoleh seketika. Tampak sosok adik yang telah dinantinya sedari tadi. Setelah berpisah dua tahun, kini, keduanya bisa bersua kembali. Adik kakak itu saling berpelukan melepas rindu, disaksikan Abah Umar yang juga baru datang menjemput Syafiq Albana.

"Selamat, Fiq. Aku bangga padamu."

Syafiq hanya mengangguk sembari memandang bayi mungil yang tertidur dengan wajah begitu damai. Gegas ia berjongkok diikuti Zuhan. Keduanya saling pandang dan lempar senyuman sendu.

"Dua tahun sudah berlalu, Kak. Si kecil sudah besar sekarang."

"Dan kamu asyik mengejar study di German, sampai tidak ikut membantu merawat anakku."

Ada rasa haru melihat segala perubahan yang terjadi di rumahnya. Syafiq menunduk dan mengelus pipi bayi bernama Zukhruf Jinan.

"Nama yang bagus, Kak."

"Kamu tahu apa arti Zukhruf?"

"Perhiasan."

"Betul, tapi ada arti lain yang aku sematkan khusus untuknya."

Syafiq menyipitkan mata dan tersenyum tipis sedang Zuhan kembali memainkan jemari anaknya.

"Zukhruf. Zu adalah Zuhan, Ru adalah Rumi atau Arumi, f adalah forefer." Zuhan mencium punggung tangan si kecil. "Zuhan dan Arumi untuk selamanya."

Entah kenapa, setiap memandang sang anak, mata Zuhan seringkali mengembun bahkan lolos membasahi pipi. Katanya, ia selalu teringat akan perjuangan Arumi Khadijah bertarung nyawa. Semua itu membuat relung jiwanya kembali terkoyak. Ah, kenyataannya, setiap perempuan pun akan seperti itu. Sungguh, ia begitu mencintai istrinya.

"Sayang, Umma kamu pasti begitu bahagia. Kamu sangat cantik dan menggemaskan," ucap Syafiq sambil mengelus pipi Zukhruf.

Sedang Zuhan menepuk bahu Syafiq dan berlalu meninggalkannya. Gegas ia menaiki tangga dan menuju tempat peraduan cinta bersama sang istri. Ia duduk di ranjang sembari mengedarkan pandangan, menetralkan perasaan.

Hingga terasa rengkuhan dari belakang, hembusan napas menyapu lembut leher dan seluruh wajahnya. Ia memejamkan mata sembari menikmati aroma wangi shampo perempuan yang begitu ia sayangi.

"Kenapa Buya selalu seperti ini, hmm?"

"Aku masih terlalu takut kehilanganmu, Rum."

Mendengar itu, Arum menuntun Zuhan untuk berdiri dan menghadapnya. Ia memegang kedua tangan snag suami. "Arum di sini, menemani kalian setiap hari."

"Bayangan dirimu hampir merenggang nyawa dua tahun yang lalu masih membekas di dada. Sungguh, rasanya, sudah cukup memiliki Zukhruf saja," balas Zuhan sembari mengelus pipi Arum.

"Buya salah." Arum terkekeh dan menepis pelan tangan suaminya.

Setelahnya, jemarinya merogoh saku kanan, menampakkan benda kecil berbentuk persegi panjang. Matanya berkaca saat menunjukkan dua garis merah yang terpampang nyata, pun Zuhan menitikkan air mata, antara bahagia dan gelisah.

"Hadiah untuk njenengan dan si kecil Zukhruf."

Seketika Zuhan merengkuh Arum, menahan isakan yang tercekat di kerongkongan. Ia bingung harus bereaksi seperti apa. Namun, kenayataannya, ia begitu bahagia.

"Tidak akan terjadi apa-apa selama njenengan berada di sisi Umma. Umma akan selalu kuat."

"Trimakasih, sayang."

Bersamaan dengan itu, Syafiq berdiri di ambang pintu, hendak masuk menyerahkan balita berumur dua tahun yang telah bangun dari tidurnya. Sayang, kerongkongannya justru ikut tercekat menyaksikan keromantisan pasangan halal itu. Gegas ia membalikkan badan dan memejamkan mata. Tangan kirinya terulur memegangi dada.

"Rasanya masih sama, Rum. Di sini, ada rasa sakit luar biasa saat melihatmu bermesraan dengan kakakku."

Ia merasakan dadanya begitu sesak sembari berjalan dan menuruni tangga. Jari telunjuknya mengusap pelan sudut mata yang sudah berair.

"Aku berjanji, penggantimu akan segera hadir, tapi maaf, Rum, aku tidak akan pernah bisa menghapus namamu."

πŸ’•TAMATπŸ’• see u on season 2 πŸ€—


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tulang Rusuk Part 1

Tulang Rusuk Part 14

Tulang Rusuk Part 15