Tulang Rusuk Part 43

  #Tulang_Rusuk Judul : Tulang Rusuk Part 43 : Forever Dalam ruangan seeba putih, Zuhan memandang sendu Arum yang terbaring lemah. Ia usap lembut pipi istrinya, pun mengecvp keningnya. Ada rasa haru serta sakit menyeruak, membuatnya ingin sekali menangis. Ah, bukan hanya ingin, karena kenyataannya, cairan kristal sudah mengintip di sudut mata. Gegas Zuhan mengusapnya sembari menoleh ke sembarang arah. "Yaa Fattaah ..." ucap Zuhan menahan tangis hingga tujuh kali pengulangan sembari mengusap perut Arum. "Pak, Ibu sudah terlalu lemas. Kita harus segera melakukan tindakan operasi caesar." Zuhan semakin panik, ditambah ia mengingat akan bahaya plasenta previa jika Arum memaksa untuk lahiran normal. Berkali-kali, ia membujuk, tetap gelengan kepala yang ditunjukkan Arum. "Izinkan Arum berusaha sekali lagi, Pak," mohon Arum dengan suara yang teramat pelan. "Aku mohon, Rum, jangan memaksa. Please, dengarkan aku." "Sekali ini saja

Tulang Rusuk Part 42

 

#Tulang_Rusuk

Judul : Tulang Rusuk


Part 42 : Kepercayaan

Pagi dengan udara segar menemani Arum yang berkutat di dapur. Saat ini, ia sibuk menyiapkan makanan untuk sarapan. Langkahnya tak begitu gesit pun sesekali meringis, memegangi perutnya. Ah, ia ingat betul, plasenta previa begitu membatasi aktivitasnya. Tak heran jika pendarahan sering muncul, menghantui hari-harinya. Beruntung, semakin hari, posisinya bisa berubah sedikit naik hingga ada harapan baginya untuk melahirkan secara normal.

"Normal atau caesar itu sama saja, Rum. Nggak usah memaksakan kehendak."

"Arum paham, Pak. Tidak salah kan jika berusaha?"

"Iya, sayang, tapi jangan memaksa. Itu namanya menyalahi qodrat."

Sembari meniriskan oseng-oseng, Arum tersenyum kecil mengingat perdebatan dengan Zuhan beberapa hari yang lalu. Arum begitu ingin melahirkan secara normal walaupun kemungkinannya sangat kecil. Bukankah itu wajar? Namun, ia membenarkan perkataan Zuhan. Apapun jalannya nanti, gelar sebagai sosok ibu tetap ia terima seumur hidup.

"Kuat ya, Nak," ucap Arum sambil mengelus perutnya.

Usai memasak, gegas Arum menghidangkan makanan ke meja. Tak banyak menu yang dimasak memgingat kondisinya yang kurang stabil akhir-akhir ini. Beberapa detik kemudian, terdengar langkah kaki beradu dari arah tangga. Arum tersenyum dan menoleh seketika. Gegas ia menghampiri, membuat Zuhan tersenyum hangat. Tangan Arum begitu lihai merapikan kerah dan dasi sang suami dan dibalas kecvpan singkat di kening oleh Zuhan.

"Trimakasih, Rum."

Arum tersenyum dan mengangguk. "Arum panggil Abah dulu, Pak," pamit Arum pada Zuhan.

Kini, ketiganya menyantap makanan. Hening, begitulah suasana yang tergambar. Tampak Abah Umar dan Zuhan begitu menikmati menu sederhana yang disajikan. Namun, itu tak berlaku untuk Arum. Ia hanya menyuapkan dua hingga tiga sendok nasi saja, selebihnya hanya memandang masakannya nanar. Sesekali, tangannya memegangi area pinggang. Nyeri, itu yang dirasakan.

"Nduk, kenapa? Ada yang sakit?"

Pertanyaan Abah Umar pada Arum membuat Zuhan gelagapan dan menghentikan aktivitas makan. Gegas ia mencondongkan badan, menelisik perut Arum sedang Arum meringis sambil menahan tawa. Ah, konyol sekali sikap Zuhan. Begitulah batinnya.

"Santai, Pak. Insyaa Allah, Arum nggak apa-apa."

Bukan hanya Arum, pun Abah ikut terkekeh. "Nduk, sering-sering baca doa maryam biar lancar lahirannya nanti."

Mulut Arum melongo saat hendak menjawab, tetapi dipotong cepat oleh Zuhan. "Selalu itu, Bah. Zuhan juga sering membacakannya."

Zuhan menjeda ucapan dan beralih menatap manik mata Arum. "Aku bacakan lagi ya, Rum."

Mendengar perkataan Zuhan, Arum kikuk sembari melirik Abah Umar. Ah, ia sungguh sungkan.

"Suamimu lagi bucin itu, Rum. Lanjutkan saja, Abah ke kamar dulu," ucap Abah sambil geleng-geleng kepala.

Kenyataannya, kehamilan adalah moment paling membahagiakan. Tak heran jika Zuhan begitu memperhatikan Arum pun keselamatan bayi yang masih bersemayam dalam kandungan. Sedang Arum begitu bersyukur menerima perlakuan penuh kasih sayang dari sang suami. Baginya, Zuhan adalah anugerah terbesar. Ah, ia baru menyadari itu setelah beberapa bulan yang lalu seringkali menggoreskan luka pada suaminya.

Kini, tangan Arum terulur, menepuk bahu Zuhan. "Njenengan sukses membuat Arum malu, Pak."

"Kenapa harus merasa malu, Rum. Aku cuma bicara hal biasa lho, itu, nggak ada unsur po-"

"Sssttt! Jangan diteruskan, Pak Zuhan yang tercinta."

Mendengar itu, Zuhan semakin tertawa. Begitu menggemaskan. Semua terasa indah sekarang. Kebahagiaan akan semakin lengkap mengingat buah cinta yang dinanti akan segera tiba dalam hitungan hari. Ah, sembilan bulan telah terlewati dengan penuh liku, suka duka beradu membersamainya. Pada akhirnya, keduanya tetap berdoa agar hanya ada bahagia di antara mereka, bukan lagi luka.

"Pak, katanya mau berdoa untuk Arum dan si kecil?" ingat Arum sembari tersenyum sungkan.

Zuhan mengangguk dan gegas membungkuk. Ia sentuh dengan lembut perut sang istri sembari berdoa banyak hal. Pun sesuai nasehat Abah Umar, doa Maryam tak akan pernah terlewatkan.

"حنة ولدت مريم ، مزيم ولدت عيسى ، أخرج أيها المؤلود بقدرة الملك المعبود . اللهم صل على سيدنا محمد سهل ويسر م تعسر

"Hannah waladat maryam, wa maryam waladat 'iisa, ukhruj ayyuhal mauluudu bi wudratil malikil ma'buud. Allaahumma shalli 'alaa sayyidinaa Muhammadin sahhil wa yassir ma ta'assar."

Seketika Arum terenyuh, matanya mengembun. Doa yang disematkan begitu dalam dan tulus, tak semua wanita mendapatkan perlakuan lembut seperti dirinya. Dalam hati, ia menangis, mensyukuri semua anugerah. Namun, wajahnya merona bahagia, membuat Zuhan ikut tersenyum ceria.

"Aku tahu kamu ingin sekali menangis, kan, Rum? Itu kebiasaanmu."

Lolos sudah air matanya. Gegas Arum menidurkan kepala pada Zuhan yang telah duduk tegap. Ia menikmati belaian lembut Zuhan sembari mengusap air mata.

"Terkadang, Arum dihantui rasa berdosa, Pak."

"Kenapa?"

"Teringat semua kesalahan Arum pada njenengan, Pak."

Gegas Zuhan menegakkan tubuh Arum hingga duduk berhadapan. Seperti biasa, lelaki itu menelisik wajah dan memegang dagu Arum. "Semua sudah berlalu, Rum. Sekarang, tugas kita adalah menata masa depan. Siap?"

"Sangat siap, Pak," balas Arum sembari merengkuh tubuh Zuhan, pun Zuhan membalasnya penuh cinta.

***

Jam dua siang, Arum dan Zuhan berjalan keluar dari rumah sakit menuju tempat parkir mobil. Bibir Arum tak henti-hentinya mengerucut mengingat perkataan dokter kandungan. Sungguh, ia tak sabar ingin segera menimang si kecil, tetapi sayang, ia sendiri pun tak tahu kapan bayinya akan keluar dan menjamah indahnya dunia.

"Sabar ya, Rum. Belum saatnya."

Arum berjalan merasakan begah di perut, pun meringis merasakan sensasi nyeri di sekitar punggung. Melewati lorong rumah sakit, ia tak menghiraukan tatapan lalu lalang orang di sekitar, yang pasti, ia hanya ingin reda sakitnya.

"Kandungan Arum sudah lewat 1 hari dari HPL, lho, Pak. Kok belum lahir juga, ya?"

"Bahkan yang lebih satu bulan juga ada, lho. Sabar, sayang. Yang paling penting, kalian berdua sehat."

Mendengar penjelasan sang suami, Arum mengangguk. Ada satu hal yang membuat dirinya cukup lega, yakni plasenta previa yang kerap kali menganggu harinya telah menempati posisi yang pas hingga ada harapan baginya untuk melahirkan secara vagin4l.

"Selalu doakan Arum, Pak. Arum ingin segera merawat anak kita." Arum menjeda ucapannya sejenak dan melirik wajah Zuhan sekilas. "Juga merawat njenengan."

Gelak tawa Zuhan pecah begitu saja saat mendapati Arum yang berujar malu-malu. "Cyee, makin nempel saja, ternyata."

"Jangan keras-keras, Pak. Malu," cicitnya menunduk sedang Zuhan terus terkekeh.

Waktu terus bergulir, malam mulai menyapa. Kini, dalam kamar, Arum duduk di depan lemari kaca tempatnya berhias diri. Tangannya hampir tak pernah berhenti mengelus sang buah cinta. Sesekali, ia terus membayangkan Zuhan yang telah mewarnai hari-harinya.

Drrtt drrrt

Getaran ponsel di atas laci memaksanya untuk bangkit sejenak. Seketika tubuh Arum menegang mendapati nama yang tertera pada panggilan video call. Bahkan, jantungnya kembali tak normal. Gegas Arum menyambar hijab instan yang tersampir di kursi kayu. Dengan tangan gemetar dan hati was-was, ia menggeser icon telepon berwarna hijau.

"Assalamuaikum."

Arum kikuk melihat sosok di depannya. Ia memaksakan bibirnya untuk tersenyum meski terasa susah. "Wa'alaikumsalam."

"Maaf, Rum, tadi aku telepon Kak Zuhan, tapi nggak diangkat."

Sejenak, ia melirik meja yang berada tak jauh dari samping ranjang. Benar saja, ponsel Zuhan tergeletak di sana sedang pemiliknya sedang bersua dengan Abah Umar di ruang depan.

"Oh, iya, Mas, Pak Zuhan di depan sama Abah. Ponselnya ditinggal di kamar," jelasnya menunduk.

Sedang di sana, Syafiq menatap Arum begitu lekat. Sesekali, ia mengucap isgtighfar dalam hati. Pun Arum merasa canggung dan ingin sekali menyudahi percakapan dengan adik ipar. Hanya saja, ia tak tahu harus berbicara seperti apa. Dalam hati, ia berharap sang suami segera datang dan menggantikan posisinya sekarang.

"Mas."

"Rum."

Lagi dan lagi, hal ini sering terjadi pada mereka, memanggil nama bersamaan. Terlihat Syafiq terkekeh sementara Arum sedikit salah tingkah.

"Kamu duluan, Rum."

"A--Arum panggilkan Pak Zuhan," ucap Arum sambil melangkah.

"Jangan!"

Langgam suara Syafiq menghentikan langkahnya begitu saja. Sungguh, ia terkejut dengan titah Syafiq. Gegas Arum menoleh ke arah sumber suara dengan sorot mata menyalang. Apa maksudnya? Begitulah tanyanya dalam hati.

"M--maaf, Rum, maksudku ..."

"Nggak apa-apa. Ada apa, Mas? Maaf, Arum tidak bisa lama-lama."

Tampak Syafiq membuang napas pelan. "Cuma mau tanya, gimana kabarmu, Rum?"

"As you see," jawab Arum singkat tanpa menatap Syafiq.

Kini, keduanya diam, pun Arum tak mampu memutar otak dengan baik. Ia bingung harus berbicara apa lagi sementara Syafiq juga hanya diam. Pilihan Arum hanya menunduk hingga tanpa sadar seseorang menyembul dari belakang, menopang dagu di atas bahu kanannya. Pun merasakan tangan melingkar di area perut.

"Lagi apa, hmm?"

Ia menegang seketika. Sepertinya, Zuhan tak sadar akan suatu hal mengingat ia memposisikan ponselnya sedikit miring agar tak begitu jelas saar bertatapan dengan Syafiq. Namun, hal itu menjadi bumerang tersendiri. Tak bisa ia bayangkan bagaimana perasaan Syafiq sekarang.

"Pak ..." Suara Arum terdengar begitu lirih, antara bahagia juga gelisah.

Ia mencoba melepaskan dekapan sang suami, tetapi Zuhan tak mengindahkannya. Ah, ia bingung harus bagaimana sekarang.

"Kenapa? Biasanya juga seneng."

Arum memejamkan mata, berharap keajaiban datang. Hingga terdengar krasak-krusuk di balik ponsel, ia membuka mata seketika, pun Zuhan yang menegakkan badan begitu saja.

"K-kamu lagi-"

Ia mengangguk dan menunjukkan ponselnya pada Zuhan. "Mas Syafiq tadi telepon ke Hp njenengan, Pak."

"Maaf, Kak, Arumi, sudah dulu. Assalamualaikum."

"Tunggu, Fiq," potong Zuhan cepat saat Syafiq hendak mematikan sambungan telepon.

Arum merasakan panick attack luar biasa, hingga air mata hampir lolos lagi. Ia tepis kasar agar tak terjadi lagi kekacauan setelah hubungan ketiganya mulai membaik meski kenyataannya, ia tahu betul bagaimana perasaan Syafiq.

"Iya, Kak?" Terdengar suara Syafiq begitu lirih.

"Maaf, aku tidak tahu."

"Nggak apa-apa, Kak. Kak, aku kangen. Apa kabar?"

"Baik, Fiq. Gimana di sana? Betah?"

"Betah nggak betah, Kak. Insyaa Allah, aku akan fokus belajar di sini."

"Aku pegang janjimu, Fiq. Segera pulang dan membawa kabar gembira untuk kami."

Ada rasa haru menyeruak di dada Arum mendengarkan obrolan kakak beradik itu. Ia hanya diam mematung, tanpa memandang Zuhan ataupun Syafiq. Yang pasti, sedari tadi, dia sedang mengamankan hatinya yang riuh tak karuan dengan perasaan resah.

Hingga ia pun merasa lega saat obrolan itu berkahir. Gegas Arum berdiri dan menatap Zuhan sangat lama.

"Maaf, Pak, Arum cuma ngomong seadanya dan tidak begitu menampakkan wajah di hadapan Mas Syafiq," jelasnya panjang lebar.

"Aku percaya, Rum."

Ah, ia sungguh beruntung memiliki suami yang selalu memihak padanya, pun ia berjanji tak akan menodai kepercayaan yang disematkan Zuhan dalam hidupnya. Sekarang, ia kembali menunduk sembari memainkan jari tangan.

"Arum cuma berpikir, Pak, gimana perasaan Mas Syafiq sekarang?"

Ting

Zuhan yang hendak menjawab pun urung saat suara notif ponsel Arum kembali terdengar. Si pemilik hanya diam, membiarkan suaminya mengambil dan membuka isi pesannya. Ia terkesiap saat Zuhan menyentuh dagunya hingga mampu menatap layar kaca bersama.

"Baca pesan ini dengan baik, Rum," titah Zuhan sambil tersenyum manis.

[Tenang saja, Kak, Rum, aku tidak apa-apa. Oh ya, selamat untuk kalian berdua, semoga persalinannya lancar. Tidak sabar menunggu dua tahun biar bisa gendong keponakan tercinta.]

Sungguh, kali ini, Arum merasakan hawa lega di sekujur tubuh. Rasa was-was yang telah membeku sejak tadi lebur begitu saja setelah memaknai pesan sosok Syafiq Albana. Ia menatap Zuhan dan tersenyum, memancarakan rona bahagia.

"Rum, Syafiq itu laki-laki yang bijak. Aku juga paham perasaanya, tp aku percaya padanya. Dia pasti bisa mengatas semua itu dengan baik," jelas Zuhan sambil menyentuh kedua bahu Arum.

Mendengar itu, Arum tersenyum dan mengangguk sedang Zuhan justru berjongkok, menempelkan telinga ke perutnya. Sekali lagi, Arum merasakan sensasi rindu sekaligus bahagia luar biasa.

"Assalamualaikum, sayang. Apa kabar? Kapan keluar dari perut Umma? Buya sudah rindu."

Ucapan Zuhan begitu menggemaskan di telinga Arum. Tangan kanannya terulur dan mengelus rambut suaminya. "Umma juga. Bukan cuma Buya saja."

Terdengar kekehan Zuhan yang membuatnya semakin sungkan. Tampak lelaki itu berdiri dan memandangnya begitu dalam sembari memainkan kedua alis.

"Rindu anak atau rindu Buya?"

Gegas Arum berhambur pada pelvkan Zuhan, melepas kerinduan yang tak pernah pergi dari hatinya. "Dua-duanya."

"Asytaqu ilaik, Zaujaty," balas Zuhan begitu bahagia.

💕💕💕💕

Huft .. semalam sudah ngetik tamat, tapi tadi pagi langsung putar haluan nggak jadi tamat 🤣


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tulang Rusuk Part 1

Tulang Rusuk Part 14

Tulang Rusuk Part 15