Tulang Rusuk Part 43

  #Tulang_Rusuk Judul : Tulang Rusuk Part 43 : Forever Dalam ruangan seeba putih, Zuhan memandang sendu Arum yang terbaring lemah. Ia usap lembut pipi istrinya, pun mengecvp keningnya. Ada rasa haru serta sakit menyeruak, membuatnya ingin sekali menangis. Ah, bukan hanya ingin, karena kenyataannya, cairan kristal sudah mengintip di sudut mata. Gegas Zuhan mengusapnya sembari menoleh ke sembarang arah. "Yaa Fattaah ..." ucap Zuhan menahan tangis hingga tujuh kali pengulangan sembari mengusap perut Arum. "Pak, Ibu sudah terlalu lemas. Kita harus segera melakukan tindakan operasi caesar." Zuhan semakin panik, ditambah ia mengingat akan bahaya plasenta previa jika Arum memaksa untuk lahiran normal. Berkali-kali, ia membujuk, tetap gelengan kepala yang ditunjukkan Arum. "Izinkan Arum berusaha sekali lagi, Pak," mohon Arum dengan suara yang teramat pelan. "Aku mohon, Rum, jangan memaksa. Please, dengarkan aku." "Sekali ini saja

Tulang Rusuk Part 40

 

#Tulang_Rusuk

Judul : Tulang Rusuk


Part 40 : Pasang Surut Kehidupan

Dunia terus bergerak, tak pernah beristirahat. Ia terus berputar atas titahNya, mengubah terang menjadi gelap pun seterusnya. Irama dinamika terus berjalan, menciptakan pasang surut kehidupan yang datang bergantian. Kejayaan menjadi kemunduran, kebahagiaan menjadi penderitaan, begitu juga sebaliknya.

Jam delapan pagi, Arum mengaduk segelas teh susu. Kepulan asapnya memanjakan hidung Arum, menikmati aroma khas yang menguar memenuhi dinding-dinding ruangan. Setelahnya, ia berjalan cepat, menyajikan minuman itu untuk sang suami sebelum berangkat mengajar. Ia tersenyum bahagia mengingat Zuhan telah bersikap manis semalaman seperti biasa.

"Kenapa senyum terus, Rum? Tehnya sudah manis ini," goda Zuhan sembari menyeruput teh susu favoritnya.

Sementara Arum menggeleng sungkan. Ia pun duduk tepat di samping Zuhan, menopang dagu dan memandangi setiap inci wajah suaminya. Rasanya, sudah lama tak bersua seperti ini. Begitulah batinnya. Hingga pasang mata Zuhan menangkapnya curi-curi pandang, membuat dirinya semakin malu tak karuan.

"A--rum cuci piring dulu, Pak," ucapnya berlalu begitu saja, membuat Zuhan geleng-geleng kepala.

Rona bahagia di wajah Arum tak pudar jua. Namun, di ambang pintu dapur, ia dikejutkan oleh sosok pria yang terseok memasuki ruangan dengan bantuan kursi roda. Seketika senyum yang mulanya mengembang, surut begitu saja. Ada yang mencubit hatinya. Ia berjalan pelan, mendekat ke arah lelaki itu. Bibirnya terkatup rapat, sulit sekali untuk sekadar menyapa hingga hanya deheman yang dikeluarkan.

"Eh, Arumi."

Langgam suara Syafiq membuat tubuhnya kaku. Arum kikuk dan menatapnya ragu. "Butuh sesuatu, Mas? Biar Arum buatkan," tanyanya sedikit terbata.

"Cuma mau ambil roti di kulkas, Rum."

Tak menjawab, gegas Arum mengambil apa yang diminta adik iparnya, lengkap dengan sekaleng susu kental dan selai. Ia tahu betul bagaimana kebiasaan-kebiasaan putra Abah Umar di rumah ini. Tanpa diminta, perempuan itu mengoleskan selai kacang juga menuangkan susu kental rasa cokelat pada roti tawar Syafiq. Ah, bukan hanya untuk Syafiq, melainkan juga Zuhan. Bedanya, untuk sang suami tentunya tanpa selai.

"Mari, Mas. Arum bawakan ke meja," ucap Arum berlalu meninggalkan Syafiq yang mengangguk lemas.

"Seperhatian itu ya, Rum, sama Kak Zuhan," monolog Syafiq pelan.

Sementara Arum melangkah pasti, tanpa keraguan apapun, sedang Zuhan menatapnya heran, pun dengan dua piring kecil yang dibawanya.

"Lho, Rum?" tanya Zuhan bingung.

"Iya, Pak. Kesukaan Pak Zuhan. Ini ... untuk Mas Syafiq," jawab Arum, membuat Zuhan tersenyum hangat memandang dua orang yang teramat disayanginya.

"Aku sudah kenyang, Rum, tapi mubadzir juga kalau nggak dimakan."

Mendengar itu, gegas Arum kembali ke dapur, mengambil kotak makan berwarna biru. Ia masukkan roti tersebut ke dalamnya.

"Buat bekal saja, Pak."

Setelah siap semuanya, Zuhan berjalan keluar, menyisakan Arum yang melongo memandang tubuh tegap sang suami hilang tertelan pintu depan. Ada yang menggigit di hati. Sungguh, ia kembali merasa terbaikan sekarang.

Tak mau berburuk sangka, gegas Arum menyusul Zuhan. Tepat di samping mobil, ia berhenti dan mendapati Zuhan langsung menoleh ke arahnya dengan senyuman sendu.

"Maaf, Rum. Nggak mungkin kita melakukan ritual pagi di depan Syafiq."

Otaknya bekerja keras, memaknai tiap perkataan Zuhan. Ah, ia paham sekarang. Ada rasa bahagia menjalar, membuat Arum berhambur ke dalam pelukan Zuhan.

"Lagi-lagi, Arum berburuk sangka, Pak," ucap Arum terkekeh ringan.

"Sudah kubilang, sabarlah sedikit, Rum. Hargai keberadaan Syafiq."

Arum mengangguk, tetapi tak segera melepaskan dekapan pada tubuh suaminya.

"Sudah, Rum, ini kesiangan, lho."

"Sebentar lagi, Pak. Arum masih rindu."

Keduanya begitu menikmati aksi lepas rindu, seolah lupa di mana dirinya berada sekarang. Sedang di balik jendela bergorden biru, Syafiq menoleh ke sembarang arah, merasakan sesak di dada.

"Hingga detik ini, rasanya masih sama, Rum."

***

Jam sebelas siang, Arum merasakan seluruh tubuh seolah retak. Ia harus mengurus segalanya sendiri, pun seringkali naik turun tangga membantu Syafiq saat dibutuhkan.

Sesaat, ada yang meremas di area perut. Ke sepuluh jemari tangannya bersatu memegangi perut ratanya. Sesekali, ia membungkuk sambil menepuk-nepuk punggung, berharap sakitnya segera redah. Sayang, usahanya tak berhasil. Sakit semakin menjalar hampir meremukkan badan.

Hingga terasa ingin buang air kecil, gegas Arum berlari ke kamar mandi. Namun, ia kembali terkejut saat mendapati bercak darah yang tercetak jelas di kain yang membalut area kewanit44nnya. Ia begitu panik dan bingung harus berbuat apa. Arum segera keluar dan menelepon Zuhan. Sayang, empat panggilan tak kunjung mendapatkan jawaban.

"Ya Allah, sakit ..."

Tak tahan, ia terseok menuruni tangga. Tak ada siapapun di rumah yang bisa membantu selain Syafiq Albana. Ia tak peduli apapun sekarang, pun rasa canggung mendadak musnah. Ia mengetuk pintu kamar Syafiq berulang-ulang dan berteriak kencang memanggil namanya.

Ia mampu bernapas lega saat decit pintu terdengar, menampakkan Syafiq dengan wajah sayu. Sedang lelaki itu terkejut mendapati Arum yang sudah pucat pasi.

"Arumi, ada apa?"

Arum kelu, pusing mendera, pun sayatan di perut semakin menjadi. "D--darah, Mas."

"Darah?"

Arum hanya mampu mengangguk pelan, setelahnya pandangan mengabur. Ia hanya merasakan tubuh semakin lemas dan semua terasa gelap.

"Astaghfirullah, Arumi!"

***

Waktu berlalu begitu cepat. Dalam ruangan bercat abu, Arum membuka mata, merasakan sekujur tubuh yang terasa lemah. Manik hitamnya terus memindai tiap sudut ruangan, mengamati di kamar siapakah dirinya berada sekarang. Sesaat, ia tersadar akan satu hal, Syafiq Albana. Tetiba bayangan sakit perut satu jam yang lalu meluluh lantakkan jiwanya. Gegas tangan mungil Arum meraba perut sembari berpikir keras akan keselamatn bayi yang telah bersemayam dalam rahim.

"Bayiku ..."

Decit pintu membuat Arum mendongak seketika. Tampak Zuhan datang dengan membawa nampan berisi gelas dan mangkuk kecil, diletakkannya di atas laci. Setelahnya, lelaki itu mendekat ke arah Arum, mencivm kening istrinya cukup lama.

"Maafkan aku. Kamu hampir celaka dan aku sibuk dengan pekerjaanku."

Arum geming, membiarkan cairan kristal terus membanjiri pipi. Terasa sapuan halus tangan Zuhan mengusap air matanya, hingga ia menoleh dan menatap sang suami cukup lama. Ada luka di mata Arum, tetapi masih dipenuhi rasa cinta.

"Sayang, masih sakit?" tanya Zuhan sambil mengelus perut Arum.

Arum menggeleng lemah. Tangan kanannya meraba perut dengan mata berkaca. Ia ingin bertanya bagaimana keadaan calon buah hatinya, tetapi kerongkongan terasa sakit, pun dia tak siap jika harus mendengar kabar menyakitkan.

Sementara Zuhan membungkuk, mencivm perut Arum dengan penuh haru. "Anak kita kuat, sayang. Dia anak hebat. Maafkan aku, Rum."

Pecah sudah tangisnya. Ia begitu bahagia mendengar kabar itu meski ada sedikit rasa kecewa pada Zuhan. Namun, bukankah suaminya tak bersalah? Pun Zuhan bekerja untuk dia dan anaknya. Ah, ia sungguh tak bisa jika harus menyalahkan Zuhan.

"Maafkan Arum, Pak. Kita hampir kehilangan-"

"Ssstt! Jangan diteruskan, Rum. Anak kita baik-baik saja. Trimakasih telah menjaganya dengan baik," ucap Zuhan dan mengecvp kening Arum.

Sedang Syafiq menahan rasa sakit yang mencabik-cabik dada. "Selamat, kak. Selamat, Arumi."

Rupanya, Syafiq setia menyaksikan tangis haru kedua kakanya melalui celah pintu. Hatinya semakin terkoyak mendengar berita kehamilan Arum. Ah, kenapa pula harus menangisi cinta yang memang sudah tidak bisa lagi ia miliki? Namun, bukankah itu lumrah bagi dia yang baru pertama kali melabuhkan cinta, tetapi harus dipatahkan begitu saja?

Gegas Syafiq berputar arah, hendak meninggalkan kamarnya. Namun, ia kembali berpikir, tak pantas jika berlaku demikian. Ia membulatkan tekad dan memasuki kamar, membuat sepasang kekasih itu menoleh dan memasang wajah kaku. Degup jantungnya luar biasa kencang, bahkan sangat kencang saat menatap sorot mata Arum dan Zuhan yang memandangnya penuh kegelisahan.

"Selamat untuk kalian berdua," ucap Syafiq lirih.

Sementara Arum? Kerongkongannya tercekat. Ia tak bisa membalas ucapan selamat Syafiq. Pun Zuhan merasakan area pelipis sudah basah akan keringat. Keduanya teramat takut akan terjadinya hal buruk seperti hari-hari sebelumnya.

Sejenak, Zuhan mencoba relaks, ia mendekat ke arah Syafiq, menepuk bahu adiknya pelan.

"Trimakasih, Fiq. Alhamdulillah, calon keponakanmu selamat."

Tampak Syafiq mengangguk. Manik matanya setia mengamati perut Arum. Tanpa sadar, tangan Syafiq terus terulur hendak menyentuh perut istri kakaknya. Sadar ada yang salah, gegas Arum menghalanginya. Ia menepis pelan tangan Syafiq, membuat lelaki itu tersentak dan menunduk sungkan.

"Jangan, Mas!"

"M--maaf, Rum, Kak," sesal Syafiq.

Adik dari Zuhan itu menunduk, merutuki sikap konyolnya. Sedang Arum menatapnya pias, memasang wajah kecewa, pun Zuhan ikut gusar memikirkan segala keruwetan. Ruangan mendadak mencekam, membiarkan tiga anak Adam bergulat dengan segala asumsi masing-masing.

"Syafiq keluar dulu."

Langgam suara Syafiq membuat Arum tersentak dan meneteskan air mata begitu saja. Ia setia memandang lelaki itu yang terus menjalankan kursi roda hingga benar-benar keluar kamar. Setelahnya, Arum menatap Zuhan sangat lama, menyorotkan semua luka yang kembali menganga.

"Ini yang Pak Zuhan inginkan?"

Zuhan menggeleng cepat dan mendekapnya erat. Tumpah sudah air mata Arum, isakan-isakan tak lagi pelan. Tangannya terus memukul dada Zuhan, menuangkan segala kegundahan. Sungguh, ia sangat lelah.

"Ini yang Arum takutkan, Pak. Jangan lagi sengaja membiarkan Arum berdua dengan Mas Syafiq, Pak. Semua akan tambah rumit," tutur Arum sambil terisak.

"Maafkan aku, Rum. Sudah, jangan menangis."

Entah sudah kata maaf yang ke berapa itu. Sungguh, Arum muak mendengarnya. Semua terasa menyiksa sekarang. Ia tak lagi bebas bercengkrama, sering merasa terabaikan, aktivitas dibatasi, semua hanya membuatnya jengah. Sesekali, dalam hati, Arum menyalahkan Syafiq. Namun, ia pun tak bisa memungkiri bahwa segala hal tak luput dari tindakannya sendiri.

"Kapan Arum bisa tersenyum bahagia, Pak? Arum sudah lelah."

Zuhan ikut sakit mendengar semua penuturan Arum, pun menyesali segala hal yang telah ia rencanakan dua minggu terakhir ini. Tangan kanannya masih setia memelvk sang istri erat sedang tangan kiri merogoh saku celana. Tampak kertas kecil berbentuk persegi panjang dengan tulisan Air Ticket. Ia meremas kertas itu dan memasukkannya lagi ke dalam saku.

'Hampir saja aku salah langkah, Rum. Sesuai janji, kita akan tetap bergandengan tangan untuk mengikuti arus takdir, bukan melawannya,' batinnya lirih sambil menahan gejolak dalam dada.

"Sebentar lagi, sayang. Allah sedang mempersiapkan kebahagiaan haqiqi untuk kita, percayalah," tenang Zuhan sembari mengecvp pucuk kepala Arum.

Hingga menit demi menit berlalu, air mata Arum tak lagi keluar, pun isakannya. Lelah, itu yang dirasakan. Ia merebahkan badan sembari mengamati Zuhan. Ada harapan di mata bening itu, semua tentang dirinya dan sang suami. Ia menyentuh punggung tangan Zuhan dan mengelusnya.

"Di sini saja, Pak."

Zuhan mengangguk. Gegas ia melepas dasi dan menyingsingkan lengan baju hingga ke siku. Ia ikut berbaring dan tidur menyamping, menemani Arum.

"Nggak usah takut, Rum. Suamimu ada di sini, di sampingmu."

Ada rasa hangat menyapu wajah Arum. Ia menoleh ke arah Zuhan dan menatapnya sendu. "Berjanjilah, Pak, jangan pernah berpikir untuk meninggalkan Arum."

"Tidak akan, sayang, tidak akan. Kita akan menghadapi pasang surut hidup bersama-sama, hari ini dan selamanya," janji Zuhan dan mendekap Arum, pun diikuti setitik cairan bening yang bergelayut di sudut mata.

"Aku sangat mencintaimu," lanjutnya lagi.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tulang Rusuk Part 1

Tulang Rusuk Part 14

Tulang Rusuk Part 15