Tulang Rusuk Part 43

  #Tulang_Rusuk Judul : Tulang Rusuk Part 43 : Forever Dalam ruangan seeba putih, Zuhan memandang sendu Arum yang terbaring lemah. Ia usap lembut pipi istrinya, pun mengecvp keningnya. Ada rasa haru serta sakit menyeruak, membuatnya ingin sekali menangis. Ah, bukan hanya ingin, karena kenyataannya, cairan kristal sudah mengintip di sudut mata. Gegas Zuhan mengusapnya sembari menoleh ke sembarang arah. "Yaa Fattaah ..." ucap Zuhan menahan tangis hingga tujuh kali pengulangan sembari mengusap perut Arum. "Pak, Ibu sudah terlalu lemas. Kita harus segera melakukan tindakan operasi caesar." Zuhan semakin panik, ditambah ia mengingat akan bahaya plasenta previa jika Arum memaksa untuk lahiran normal. Berkali-kali, ia membujuk, tetap gelengan kepala yang ditunjukkan Arum. "Izinkan Arum berusaha sekali lagi, Pak," mohon Arum dengan suara yang teramat pelan. "Aku mohon, Rum, jangan memaksa. Please, dengarkan aku." "Sekali ini saja

Tulang Rusuk Part 39

 

#Tulang_Rusuk

Judul : Tulang Rusuk


Part 39 : Permainan Cinta

Hidup itu penuh perjuangan dan pengorbanan, pun dengan mencintai. Seringkali, cinta bersifat irrasional, tetapi manusia wajib belajar banyak hal, apapun itu yang berhubungan dengan cinta. Belajar dan bersikap cerdas dalam menentukan pilihan hingga menempatkan sebuah pengorbanan agar tak jatuh ke tangan yang salah.

Dalam ruang rawat inap, Arum dan Syafiq masih bergulat dengan pemikiran masing-masing. Dalam hati, Arum harap-harap cemas menantikan kedatangan Zuhan. Sementara Syafiq, sesekali, pria itu curi pandang, menatap manik mata Arum yang menajdi candu untuknya sejak pertama kali berkenalan.

"Apa Mas Syafiq masih suka menatap mata Arum?"

Seketika Syafiq menoleh ke sembarang arah, menyesali perbuatannya. "M--maaf, Rum. Lupakan itu."

"Iya, Mas. Arum keluar dulu," pamit Arum yang dibalas Syafiq dengan anggukan.

'Ada banyak cinta di mata Arum, Mas, tetapi hampir tidak ada yang tersisa untukmu. Selebihnya, semua milik Pak Zuhan, suamiku.'

Arum berjalan keluar, meninggalkan Syafiq yang menatapnya begitu sendu. Tepat di ambang pintu, tampak Zuhan datang. Arum berhenti sejenak, memandang sang suami dengan mata berkaca. Setelahnya, ia kembali melangkah, membiarkan Zuhan menjamah pemikirannya sendiri. Ia gelisah sejak tadi. Bagaimana tidak? Ia harus berperang batin sendiri melawan ketidaknyamanan bersama masa lalu sedang yang diharapkan bisa menguatkan justru tak kunjung datang.

Sampai di taman, gegas Arum duduk dan mengusap wajah pelan. Ia ingin sekali berteriak, menyesali perbuatan karena telah membuat dua pra baik terjerat dalam kisah peliknya. Pun ia sungguh kecewa dengan sikap sang suami. Pikirannya liar dengan segala asumsi sekarang. Yang pasti, Arum memegang teguh praduganya bahwa Zuhan memang sengaja memberi ruang khusus untuknya agar bisa berbicara panjang lebar dengan sosok Syafiq Albana.

"Arum ..."

Tepukan bahu itu, Arum sungguh rindu, pun suaranya yang khas dan menenangkan. Napas yang mulanya naik turun mulai sedikit normal. Ia menoleh ke belakang, mendapati Zuhan yang berdiri dengan menenteng kantong plastik putih berisi obat-obatan.

"Masih ingat Arum, Pak?" tanyanya dengan tatapan penuh rasa kecewa.

Sedang Zuhan terus mendekat dan duduk di sampingnya. Lelaki itu memandangnya cukup lama, menghapus air mata yang sudah mengintip di sudut indera penglihatan Arum. "Aku sangat tidak suka melihatmu menangis, Rum. Hatiku ikut sakit."

"Kalau tidak suka, kenapa Pak Zuhan justru menciptakan situasi ini?" Sungguh, Arum ingin sekali mengatakan kalimat itu, tetapi ia tahan agar perdebatan tak semakin menjalar.

"Kenapa tadi datangnya lama sekali, Pak? Apa njenengan sengaja lagi?"

Zuhan kembali menoleh ke arah Arum sekilas dan tersenyum. "Antri, Rum. Sudah pegel duluan nunggu antrian tadi."

Mendengar jawaban Zuhan, Arum mengangguk lega meski sebenarnya masih diliputi rasa resah. Jujur saja, ia sendiri takut ada hal-hal aneh mengingat tingkah sang suami sedikit berbeda dari biasanya. Namun, ia selalu berhasil menepis dan percaya sepenuhnya pada pria yang begitu tulus mencintai.

Sementara Zuhan berdehem. Lelaki itu sangat tahu apa yang ada di pikiran sang istri. Ia menatap lekat Arum yang hanya menunduk sedari tadi. Dielusnya kepala wanitanya dengan lembut, membuat Arum kembali tersenyum.

"Sedang memikirkan apa? Suamimu ada di sini, bukan di bawah."

Kesempatan emas! Arum menyenderkan kepala pada bahu Zuhan, melepas kerinduan yang belum tuntas sejak semalaman.

"Arum cuma rindu, Pak. Pak Zuhan sering mengabaikan Arum sekarang."

Zuhan mengelus lembut kepala Arum, membuatnya semakin tersenyum hangat. "Hanya sedang menata hati, Rum. Kamu pasti paham situasi rumit ini, kan?"

Benar sekali, Arum membenarkan perkataan Zuhan. Hanya saja, dia tetap wanita yang tak suka jika pasangannya terlalu abai. "Pak Zuhan sedang tidak merencanakan sesuatu, kan?"

"Rencana apa?"

Arum terdiam, bingung harus melanjutkan ucapannya atau tidak. Namun, ia tak bisa jika terus diam mengingat hubungannya dengan suami sedang dalam terjangan badai sekarang.

"Menyerah, misalnya?"

"Kamu istri yang cerdas dan bijak, Rum. Aku yakin kamu sudah sangat tahu jawabannya."

"Untuk saat ini, semua tidak bisa diprediksi dengan baik. Termasuk pemikiran Pak Zuhan," jawab Arum membuat Zuhan seketika bungkam, menyelami segala penalaran.

***

Satu minggu telah terlewati. Syafiq tersenyum lega, tak sabar ingin segera menikmati udara segar di rumah Abah Umar bersama Arum dan Zuhan. Ketiganya telah bersiap untuk pulang. Tampak Zuhan menenteng ransel hitam dan beberapa kantong plastik sedang Arum berjalan pelan sambil mendorong kursi roda yang dikenakan Syafiq.

Hingga tiba di mobil, gegas Arum membuka pintu depan dan duduk begitu saja sambil mengusap peluh, menyaksikan suaminya yang sibuk menata barang-barang. Setelahnya, Zuhan menuntun Syafiq untuk segera memasuki mobil.

"Kenapa langsung nylonong masuk, Rum? Bukan seperti itu caranya," bisik Zuhan pelan tepat setelah duduk di samping Arum.

"Arum sedang tidak ingin berdebat, Pak Zuhan yang terhormat. Ayo, pulang!" titah Arum pelan dan penuh penekanan dengan wajah cemberut, membuat Zuhan menggeleng gemas.

Mobil melaju cepat, ketiga anak Adam yang berada di dalamnya hanya saling diam. Zuhan fokus mengemudi, Arum menikmati alunan musik di headset, sedang Syafiq menatap sendu pemandangan di depannya. Tak bisa dipungkiri, Syafiq masih sangat mampu merasakan cemburu, terlihat dari sorot mata yang begitu sayu.

"Ada apa, Fiq?"

Rupanya, Zuhan mengamati sang adik dari kaca depan. Sesungguhnya, Zuhan sangat tahu apa yang sedang ada dalam pikiran Syafiq. Hanya saja, ia berpura-pura, berharap adiknya bisa terbuka seperti sedia kala meski itu sangatlah mustahil.

Sedang Syafiq menunduk kikuk. "Eh, nggak, kak."

'Astaghfirullah. Sadar, Fiq, sadar," ingat Syafiq di hati.

Satu jam berlalu, ketiganya telah sampai di rumah Abah Umar. Gegas Zuhan mengantar Syafiq memasuki kamar bawah tepat berada di samping tangga. Sedang Arum sibuk menata beberapa barang Syafiq seperti pakaian dan benda-benda lainnya. Setelahnya, ia berdiri menunggu sang suami.

"Untuk sementara, tidur di kanar bawah saja, Fiq, sampai kondisi benar-benar sehat dan berjalan normal," jelas Zuhan yang dibalas anggukan oleh Syafiq.

Arum masih setia berdiri di ambang pintu, menyaksikan Zuhan dan Syafiq yang sibuk berbincang. Sesaat, ada yang bergejolak di perut. Ia tak tahan hingga berlari begitu saja, membuat dua lelaki itu menoleh dan memandangnya heran.

"Arumi kenapa, Kak?"

Pertanyaan Syafiq membuat Zuhan mati kutu. Tak mungkin baginya untuk berterus terang sekarang. Ia tak sanggup membayangkan bagaimana sang adik kembali terluka setelah berhari-hari terpuruk. 

"Oh, itu ... mungkin capek, Fiq. Aku ke sana dulu."

Gegas Zuhan berjalan cepat, menyusul Arum ke kamar. Sayang, tak ada sang istri di dalam, entah di mana sekarang. Ada rasa khawatir mendera, mengingat beberapa hari ini dirinya kurang memperhatikan sang istri.

"Arum ..."

Tetiba yang dipanggil muncul dari balik pintu kamar mandi. Tampak Arum sedikit pucat dengan langkah gontai dan tubuh lemas. Menyadari itu, Zuhan mendekat dan mendekap bahu Arum, seolah takut wanitanya tumbang begitu saja.

"Ada apa, hmm? Ada yang sakit?"

Arum hanya diam, terus melangkah dan merebahkan badan. Tak ia pedulikan bagaimana Zuhan menatapnya lekat. Arum mencoba memejamkan mata, berharap perasaan kecewanya melebur seketika. Ah ya, ia masih sangat kecewa dengan sikap abai Zuhan akhir-akhir ini meski tak bisa dipungkiri bahwa dirinya begitu merindukan moment berdua seperti ini.

Sesaat, ia merasakan pergerakan di kasur. Terasa sentuhan hangat di perut, membuat seluruh otot Arum meregang. Napasnya mulai naik turun sedang hawa panas menyapu seluruh tubuh secara liar. Sedang Zuhan semakin mencondongkan wajah, hingga hidung menyentuh dress yang membalut perut sang istri.

"Buya tahu kalau Umma marah. Tolong bilang sama Umma ya, sayang. Umma harus sabar sebentar sampai keadaan normal. Satu lagi, katakan pada Umma kalau Buya juga sangat merindukannya."

Hati Arum bergejolak, ingin sekali membalas setiap perkataan manis Zuhan. Namun, mulut tetap setia terkunci, membuat Zuhan kembali menghembuskan napas pasrah.

"Sayang, sepertinya, Umma benar-benar sedang lelah. Jangan rewel ya, Nak. Buya keluar dulu. Bujuk Umma agar memaafkan Buya." Lelah tak mendapat respon, Zuhan keluar begitu saja meninggalkan istrinya yang masih memejamkan mata.

Sedang Arum menahan sorak riuh kerinduan sekaligus kekecewaan di dada. Ah, ia belum benar-benar lelap, bahkan masih sangat sadar.

'Arum ikuti permainan njenengan, Pak. Mari kita memainkan peran masing-masing dengan baik.'

Menit demi menit berlalu, Arum masih mengurung diri di dalam kamar. Ia sama sekali tak bergairah keluar. Pun, ia berharap Zuhan kembali masuk dan memohon maaf padanya. Ah, perempuan itu sepertinya tak akan bisa mengikuti permainan Zuhan. Rindunya tetap menjadi pemenang. Hingga terdengar suara sepatu beradu semakin dekat ke arah pintu kamarnya. Gegas Arum menutup tubuh dengan selimut tebal dan memejamkan mata.

"Istriku benar-benar sudah tidur."

Arum mendengar dengan sangat jelas ucapan Zuhan. Hanya saja, ia enggan membuka mata bahkan saat Zuhan merebahkan tubuh di sampingnya. Sayang, deru napasnya kembali tak beraturan. Hatinya begitu berontak, memintanya untuk bercengkrama dengan sang suami.

'Sebegitu rindukah Arum pada njenengan, Pak? Bagaimana dengan Pak Zuhan?' batin Arum bertanya-tanya.

Tak tahan, ia menyampingkan tubuh menghadap Zuhan, mendekap sang suami yang berbaring dan memejamkan mata. "Arum sangat rindu, Pak, sangat."

Seketika mata Zuhan terbuka dan bibirnya terkekeh ringan. "Aku tahu itu, sayang. Maafkan aku."

Sedang Arum mengangguk, pun semakin mempererat dekapan. Hingga mata itu kian sayu dan benar-benar lelap, hanyut bersama sisa-sia kerinduan untuk sosok Zuhan.

"Tidur yang nyenyak, sayang. Ada banyak hal yang harus kita lewati setelah ini. Satu hal yang harus kamu tahu, serumit apapun keadaan nanti, aku akan tetap mencintaimu, Arumi Khadijah,"  ucap Zuhan yang setia mengelus bahu Arum.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tulang Rusuk Part 1

Tulang Rusuk Part 14

Tulang Rusuk Part 15