Tulang Rusuk Part 43

  #Tulang_Rusuk Judul : Tulang Rusuk Part 43 : Forever Dalam ruangan seeba putih, Zuhan memandang sendu Arum yang terbaring lemah. Ia usap lembut pipi istrinya, pun mengecvp keningnya. Ada rasa haru serta sakit menyeruak, membuatnya ingin sekali menangis. Ah, bukan hanya ingin, karena kenyataannya, cairan kristal sudah mengintip di sudut mata. Gegas Zuhan mengusapnya sembari menoleh ke sembarang arah. "Yaa Fattaah ..." ucap Zuhan menahan tangis hingga tujuh kali pengulangan sembari mengusap perut Arum. "Pak, Ibu sudah terlalu lemas. Kita harus segera melakukan tindakan operasi caesar." Zuhan semakin panik, ditambah ia mengingat akan bahaya plasenta previa jika Arum memaksa untuk lahiran normal. Berkali-kali, ia membujuk, tetap gelengan kepala yang ditunjukkan Arum. "Izinkan Arum berusaha sekali lagi, Pak," mohon Arum dengan suara yang teramat pelan. "Aku mohon, Rum, jangan memaksa. Please, dengarkan aku." "Sekali ini saja

Tulang Rusuk Part 38

 

#Tulang_Rusuk

Judul : Tulang Rusuk


Part 38 : Sesal

Setelah terkungkung sehari semalam di rumah sakit, kini, Arum bisa menghirup udara segar di rumah Abah Umar. Ia memasuki kamar diikuti Zuhan di belakangnya. Sesaat, tubuhnya mematung, manatap nanar kue yang tergeletak semalaman. Tepukan bahu membuatnya menoleh seketika, menatap Zuhan yang sedang tersenyum sendu. Namun, Zuhan tak berkata apapun, melainkan terus melangkah hingga duduk tepat di depan bolu cokelat buatannya.

"Kue yang indah. Rasanya pasti lezat, Rum."

Arum tersentak dan melangkah cepat. Tangannya bergerak sigap, mencekal pergelangan Zuhan yang hendak mencicipi kue.

"Jangan, Pak. Itu sudah dari kemarin malam."

Zuhan menatapnya begitu lekat. Lelaki itu berdiri, mengikis jarak. Hingga keduanya saling menghangatkan dalam dekapan. Arum kembali merasa damai saat tangan sang suami kembali mengelus kepalanya.

"Trimakasih atas sambutan dan kejutannya, sayang. Maaf, sudah menyia-nyiakan semua ini."

"Njenengan nggak salah, Pak. Arum justru merasa bersalah sekarang."

Pernyataan Arum membuat Zuhan terkekeh, pun Arum tersenyum sungkan. Ia pun melonggarkan kedua lengan Zuhan yang begitu erat memeluknya. Ia memandang sang suami begitu lekat.

"Arum lupa satu hal, Pak."

"Apa?"

Arum memainkan jari telunjuk, berisyarat agar Zuhan sedikit menunduk. Ia pun memcondongkan wajah, dekat sekali dengan telinga kanan Zuhan.

"Selamat ulang tahun, suamiku sayang," ucapnya mantap, disusul kec*pan singkat di pipi lelaki halalnya.

Sementara Zuhan tak bisa berkutik, hanya mampu memegangi pipi yang sedikit basah akibat bibir Arum. Manis sekali, begitulah batinnya.

Detik, menit, dan jam berlalu cepat. Tepat jam setengah delapan malam, Arum menemani Zuhan dan Abah Umar makan. Senyumnya begitu hangat menyaksikan kedua lelakinya menyantap makanan dengan lahap. Namun, bayangan Syafiq terpuruk tetiba muncul, memudarkan rona bahagia di wajahnya. Rasa bersalah kembali bergelayut, membuat dadanya kembali riuh dan berontak. Semua semakin rumit sekarang.

'Mas Syafiq sudah makan belum, ya? Kasihan Mas Syafiq.'

"Kenapa, Rum?"

Arum tersentak dengan pertanyaan Zuhan. Ia hanya menggelangkan kepala sebagai jawaban bahwa tidak ada apa-apa. Sementara Abah mengamati keduanya secara bergantian, seolah menangkap raut kegelisahan.

"Apa kalian ada masalah?"

Bukan hanya Arum, pun Zuhan kaget dengan apa yang ditanyakan sang Abah. Masalah? Kenyataannya, hubungan keduanya sangat membaik dibanding minggu-minggu sebelumnya. Tetiba Zuhan menundukkan wajah, ingat akan hal yang sudah mencabik-cabik ketenangannya sejak pagi tadi.

"Han?"

Zuhan mendongak dan menggeleng secepat kilat. "Zuhan cuma kepikiran Syafiq, Bah."

Mendengar itu, Abah terkekeh. "Adikmu itu sudah besar, Han. Kamu nggak pernah berubah dari dulu, sangat menyayangi Syafiq."

Seketika Zuhan menunduk, merutuki segala hal yang telah diperbuat. Andai ia tak menikahi Arum, mungkin hidup Syafiq juga dirinya akan sama-sama diliputi kedamaian meski sakit harus mengikhlaskan sosok yang dicintai. Begitulah sesalnya. Ah, kenapa pula ia harus terus menyalahkan diri sendiri? Bukankah dia sudah pernah merelakan Arum untuk adiknya?

"Ya sudah. Kalian berdua istirahat saja. Biar Abah yang jaga Syafiq malam ini."

Keduanya mengangguk, sedang Abah Umar beranjak keluar sesuai rencananya. Arum dan Zuhan duduk diam, saling pandang, menjarah masing-masing pikiran. Pasangan suami istri itu sama-sama sedang diambang kegelisahan luar biasa. Entah kenapa, untuk sekadar bercengkrama melepas rindu begitu tak mudah sekarang.

"Langsung tidur saja, Rum," ucap Zuhan pelan dan berlalu meninggalkan Arum.

Arum geming, merasakan hatinya yang semakin bergejolak. Ia bisa menangkap dengan baik perubahan sang suami. Sosok Zuhan penyayang tetiba berubah murung dan bersikap dingin. Ia sangat menyayangkan itu. Tak mau terlalu larut dalam pemikirannya, gegas Arum membersihkan meja makan dan menyusul Zuhan ke kamar.

Memasuki pintu kamar, Arum berusaha relaks agar tak terjadi lagi kekacauan. Tampak Zuhan telah tidur dengan posisi menyamping, menghadap kiri. Melihat itu, ada rasa sesak yang mulai menghimpit dada Arum. Hanya saja, ia tahan dan berjalan cepat untuk ikut merebahkan badan. Ah, ia tak bisa terlentang dengan tenang. Ada rasa rindu yang riuh berkecipak sekarang. Arum kembali duduk, mencondongkan wajah ke arah Zuhan.

"Pak Zuhan sudah tidur beneran?" bisiknya lirih.

Tak ada jawaban, Arum memghembuskan napas pasrah dan kembali berbaring. Sejenak, ia mengatur lagi posisi, miring tepat menghadap Zuhan. Direngkuhnya tubuh tegap sang suami sembari merasakan aroma harumnya. Sungguh, Arum merindukan semua yang ada pada diri Zuhan.

"Pak, Arum rindu," rancaunya hingga mata itu benar-benar lelap.

"Maafkan aku, Rum. Aku sedang kalut memikirkan adikku."

Rupanya, Zuhan belum benar-benar tidur. Namun, lelaki itu tetap geming dengan posisinya sekarang meski dalam hati sungguh ingin membalas rengkuhan sang istri.

***

Hawa dingin pagi hari menemani Arum dan Zuhan yang sedang melakukan perjalanan ke rumah Pakdhe Hasan. Ya, Arum sengaja meminta Zuhan menemaninya untuk menjenguk Zulfa sebelum pergi ke rumah sakit untuk menemui Syafiq. Rupanya, ia begitu rindu kakaknya walau sesungguhnya dalam hati  ia begitu takut akan adanya penolakan seperti sebelum-sebelumnya.

Hingga tiba di rumah besar bernuansa klasik, Arum sedikit heran karena pintu rumah tertutup rapat. Tak biasanya, Budhe Salamah menutup pintu di pagi hari seperti ini. Begitulah bathinnya. Ia terus melangkah diikuti Zuhan. Namun, seseorang datang dan menghentikan kegiatannya.

"Mbak Arumi," panggil seorang Ibu.

"Eh, iya, Bu? Ada apa?" balas Arum sopan.

Sosok yang ditanya justru merogoh saku. Tampak amplop putih kecil dari balik saku baju wanita itu. Arum bingung saat Ibu di hadapannya memberikan benda tersebut padanya. Dengan ragu, Arum menerima tanpa banyak tanya, selain ucapan trimakasih.

Setelah kepergian wanita itu, Arum menatap Zuhan cukup lama sedang Zuhan membalasnya dengan anggukan sebagai isyarat untuk segera membuka. Gegas ia lakukan perintah sang suami. Seperti biasa, Arum mendadak gelisah saat mendapati surat dengan nama Pakdhe Hasan yang tercetak jelas pada barisan teratas.

"Ini surat apa ya, Pak?"

"Kita baca sama-sama, Rum."

Sungguh, perasaannya campur aduk sekarang. Namun, apa boleh buat? Ia pun dihantui rasa penasaran.

💕💕💕

Assalamualaikum wr.wb.

Nduk Arumi, maafkan Pakdhe yang nggak ngabari sampean dulu. Keputusan ini sangat mendadak, Nduk. Kami sekeluarga pulang ke Jombang, ke rumah peninggalan orangtuamu.

Sampean pasti paham bagaimana perasaan Zulfa, kan? Kata Zulfa, dia ingin menenangkan diri. Dia ingin sembuh dari luka-luka masa lalunya, Nduk. Doakan Zulfa agar segera sembuh dan bisa menjalani kehidupannya dengan bahagia seperti dulu.

Wassalamualaikum wr.wb.

💕💕💕

Sederet pesan itu membuat tubuh Arum hampir tumbang. Ia betul-betul tak mempunyai keluarga sekarang. Sekali lagi, semua yang disayang pergi meninggalkannya satu per satu dan penyebabnya adalah dirinya sendiri. Sayatan di dada semakin menganga, entah kapan sembuhnya.

"Dan pada akhirnya, mereka menyerah satu per satu, Pak. Itu semua gara-gara Arum," ucapnya lirih sembari mengusap cairan di sudut mata yang hampir menetes di pipi.

"Tenang, sayang."

Wajah Zuhan tampak tenang, tetapi hatinya begitu gelisah dan menahan segala sesal yang semakin mendera.

'Maafkan aku, Rum. Akulah penyebab semua ini. Tenanglah, setelah ini, kamu pasti akan bahagia,' batinnya sangat lirih sambil mengelus bahu Arum.

***

Kini, Arum dan Zuhan telah tiba di rumah sakit. Meski ada rasa takut, Arum berusaha tenang, apalagi ditemani sosok suami. Namun, ia kembali kelu saat Zuhan tiba-tiba berhenti. Lelaki itu memgang bahu Arum kuat-kuat dengan tatapan yang begitu memelas.

"Kamu temui Syafiq dulu ya, Rum. Aku mau tebus obat sebentar."

"Tapi, Pak?"

"Aku mohon."

Great! Arum tidak bisa membantah sama sekali saat Zuhan membalas ucapannya dengan begitu lirih dan membuang napas pasrah. Jika sudah diam seperti itu, artinya, suaminya sedang tidak ingin dibantah apalagi berdebat. Tak ada pilihan, ia pun mengangguk dan berlalu begitu saja dari hadapan Zuhan, dengan kegamangan hati yang teramat dalam.

Memasuki ruangan, Arum berjalan pelan, menatap Syafiq yang terbaring dengan kepala miring ke kiri. Sedang jantung Arum telah berdentum keras hingga ia sendiri pun kesulitan mengontrol. Benar kata suaminya, ia harus terbiasa berhadapan dengan Syafiq agar kegelisahan dan kecanggungan segera musnah.

"Assalamualaikum," ucapnya pelan.

Seketika Syafiq menoleh terkejut, tetapi binar matanya menampakkan kebahagiaan. "Waalaikumsalam. Arumi? Mana Kak Zuhan?"

Ada getaran di tubuh Arum, bukan karena rindu, tetapi karena perasaan resah. Dalam pikirannya terus bertanya, apa yang akan terjadi nanti? Ia terus mendekat sembari mengucap basmalah, berharap semua kisah bisa terkendali dengan baik, pun dengan hati masing-masing. Dengan tangan sedikit gemetar, ia menarik kursi dan mendudukinya tepat di samping Syafiq.

"Sedang menebus obat, Mas." Arum menunduk, memilin ujung hijab. "Gimana keadaannya, Mas? Sudah baikan?" lanjutnya tanpa menatap wajah Syafiq.

"Alhamdulillah."

Sepi, sunyi, senyap, itu yang kini menemani keduanya. Tak ada lagi yang berniat membuka pembicaraan. Arum dan Syafiq menikmati keheningan meksi dalam hati bertolak belakang. Canggung, itulah kata yang tepat.

Sesaat, Arum menarik napas dan melepaskannya pelan. Ia mengumpulkan keberanian untuk memecah kegemingan dengan relaks. Perempuan itu mendongak, menatap Syafiq sekilas.

"Mas."

"Rum."

Sungguh kompak! Arum dan Syafiq saling menyebut nama bersamaan hingga keduanya saling pandang. Setelah seperkian detik, dua anak Adam itu tersentak dan menoleh ke sembarang arah. Ada yang berputar-putar di hati Syafiq, pun Arum merasakan lagi getaran ringan meski sangat sedikit.

"Bicaralah, Rum."

Langgam suara Syafiq membuatnya semakin kelimpungan. Ia bingung harus berbicara apa. Jari-jemarinya semakin kuat memainkan ujung hijab, bahkan keringat hampir membasahi pelipisnya.

"Maafkan Arum ya, Mas." Arum menatap Syafiq sekilas dan kembali menunduk. "Semua kekacauan ini gara-gara Arum."

Sedang Syafiq menatapnya begitu dalam, hanyut bersama dengan perangai santun sosok Arumi Khadijah. "Kamu nggak salah, Arumi. Aku juga ikut andil di dalamnya."

Mendengar jawaban Syafiq, Arum seketika mendongak, menautkan kedua alisnya. Apa maksud perkataannya? Begitulah batinnya.

"Kamu ingat pertama kali kita ketemuan setelah aku pulang dari Jogja, kan?"

Pertanyaan Syafiq memaksa otaknya untuk menampilkan pertemuan mengesankan beberapa bulan yang lalu, hari di mana ia melepas rindu sekaligus melupakan cinta pertamanya. Arum mengangguk pelan dan dibalas kekehan ringan oleh Syafiq.

"Kamu masih ingat dengan perempuan yang bersamaku?" lanjut Syafiq yang masih diangguki Arum.

"Dan kamu masih ingat saat itu kamu salah paham?"

Tetiba tubuh Arum menengang. Ia ingat betul, dari situlah semua kekacauan terjadi. Mulutnya terkatup rapat, sulit sekali untuk membalas setiap perkataan Syafiq. Bahkan, ia pun tak mampu mengangguk. Setelah beberapa detik, ia menatap pria di depannya, cukup lama.

"Dan dari kesalahpahaman itu, Arum mengambil keputusan final untuk menerima lamaran Pak Zuhan secara mendadak. Artinya, Arum yang paling bertanggung jawab di sini."

"Itu tidak akan terjadi kalau aku menjelaskan semuanya. Maafkan aku, Rum. Yang penting sekarang, kamu sudah bahagia, kan?"

Sekali lagi, Arum merasa tersindir sekarang. Dulu, seringkali, ia menyesali kecerobohannya, tetapi tidak untuk sekarang. Apakah ada alasan lain untuk tidak bahagia? Arum begitu bahagia, pun mencintai Zuhan. Hanya saja, bayang-bayang masa lalu masih terus bergelayut hingga membuat kebahagiaan yang dirasakan tak kunjung sempurna.

"Bagaimana dengan Mas Syafiq? Kapan bisa melupakan Arum dan menyusul kebahagiaan seperti Arum?" tanyanya mencoba mengalihkan pembicaraan.

"Itu tidak mudah, Rum. Kamu sendiri sudah merasakan bagaimana sakitnya, kan? Bedanya, kamu ada yang menyembuhkan sedangkan aku tidak."

Sungguh, perempuan itu ingin sekali menangis sekarang, tetapi ia tahan dan tetap berusaha memasang senyuman. "Arum mohon, Mas. Lupakan Arum. Kita berteman saja."

"Doakan saja, Rum, karena namamu sudah begitu melekat," balas Syafiq sembari memalingkan wajah, tanpa menatap Arum sama sekali.

Bersamaan dengan itu, sosok di luar, tepat di balik celah pintu yang sedikit terbuka, mengusap air mata, persis seperti Arum yang menggunakan jari telunjuknya untuk mengelap embun di pipi.

"Aku akan bertanggung jawab atas kekacauan ini," ucap pria itu dan berlalu begitu saja, meninggalkan Arum dan Syafiq yang masih geming dengan pikiran masing-masing.

Sementara Syafiq tetap setia dengan posisinya sembari membatin. 'Masih ada binar cinta di matamu, Arumi. Aku tahu itu. Bedanya, cintamu semakin menipis sedangkan cintaku semakin besar.'

Pun Arum memejamkan mata, kembali menitikkan air mata. 'Ampuni hamba, ya Allah.'


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tulang Rusuk Part 1

Tulang Rusuk Part 14

Tulang Rusuk Part 15