Tulang Rusuk Part 43

  #Tulang_Rusuk Judul : Tulang Rusuk Part 43 : Forever Dalam ruangan seeba putih, Zuhan memandang sendu Arum yang terbaring lemah. Ia usap lembut pipi istrinya, pun mengecvp keningnya. Ada rasa haru serta sakit menyeruak, membuatnya ingin sekali menangis. Ah, bukan hanya ingin, karena kenyataannya, cairan kristal sudah mengintip di sudut mata. Gegas Zuhan mengusapnya sembari menoleh ke sembarang arah. "Yaa Fattaah ..." ucap Zuhan menahan tangis hingga tujuh kali pengulangan sembari mengusap perut Arum. "Pak, Ibu sudah terlalu lemas. Kita harus segera melakukan tindakan operasi caesar." Zuhan semakin panik, ditambah ia mengingat akan bahaya plasenta previa jika Arum memaksa untuk lahiran normal. Berkali-kali, ia membujuk, tetap gelengan kepala yang ditunjukkan Arum. "Izinkan Arum berusaha sekali lagi, Pak," mohon Arum dengan suara yang teramat pelan. "Aku mohon, Rum, jangan memaksa. Please, dengarkan aku." "Sekali ini saja

Tulang Rusuk Part 37

 #TulangRusuk

Judul : Tulang Rusuk


Part 37 : Arus Takdir

Ada yang mengatakan bahwa masa lalu tidak untuk dilupakan, tetapi harus dikenang. Bukan untuk mengenang luka, melainkan menyibak pelajaran dari setiap kejadian. Insan cerdas dan bijak akan menjadikannya sebagai tumpuhan untuk bangkit, bukan terpasung dalam kerasnya belenggu. Hanya saja, semua itu tak instan, butuh proses yang mungkin memakan waktu bertahun-tahun lamanya.

Kembali dengan kisah Arumi Khadijah, perempuan itu berjalan dengan perasaan campur aduk. Mengingat tindakan Syafiq, Arum begitu kalut, pun hatinya kembali tak tenang. Bukan apa-apa, hanya saja, ia tak lagi mau dihantui masa lalu meski rasa itu telah musnah, hampir seluruhnya. Langkahnya begitu gontai. Ia tak lagi punya tenaga berkobar seperti pagi tadi saat bersama sang suami. Ah, ia sangat sadar bahwa hanya suaminya yang mampu memberi kedamaian jiwa.

Hingga tiba di ambang pintu kamar inap, Arum dikejutkan oleh rengkuhan Zuhan yang tiba-tiba. Deru napas lelaki itu begitu cepat, sapuannya terasa panas, seolah ada yang bergejolak dalam dada. Pun Arum ikut merasakan jantungnya berpacu cepat, antara bahagia juga gelisah.

"Trimakasih. Hari ini, kamu membuktikan bahwa kamu benar-benar menerimaku. Aku sangat mencintaimu."

Pernyataan Zuhan membuat tubuh Arum menegang, bulu kuduk meremang, hati terasa gamang. Ia sadar sekarang. Mungkinkah Zuhan melihat dan mendengar semua slide kejadian bersama Syafiq? Begitulah tanyanya dalam hati.

"Pak Zuhan ..." Ia bingung harus berucap apa, takut salah dan menimbulkan amarah.

"Ya, aku melihat dan mendengar semuanya, Rum."

Lemas sudah tubuhnya. Bagaimana mungkin itu terjadi? Ah, ia tahu sekarang. Ia sangat yakin dengan praduganya. "Itu artinya, njenengan sengaja?"

Zuhan mengangguk, menciptakan sengatan di hati Arum. Cukup sakit baginya mengetahui pengakuan itu.

"Apa njenengan meragukan Arum, Pak?" tanyanya menunduk, menahan tangisan.

Sayang, bibirnya sudah bergetar saat kalimat itu terucap. Hingga Zuhan kembali mendekap, menci*m pucuk kepalanya penuh kasih.

"Aku sangat percaya padamu, Rum. Aku cuma ingin kamu terbiasa sampai ..."

Entah apa yang hendak dikatakan Zuhan. Seketika Arum menepis pelan lengan yang sedari tadi melingkar di tubuhnya. Ditatapnya dalam-dalam lelaki yang telah membersamainya sejak dua bulan yang lalu.

"Sampai apa, Pak? Lanjutkan."

Zuhan mengulurkan tangan, meletakkannya di dada Arum. "Sampai tidak ada kegelisahan dan kecanggungan di sini saat berhadapan dengan Syafiq. Hanya itu, Rum."

Seketika Arum kembali berhambur dalam tubuh tegap sang suami, menumpahkan rasa haru serta bahagia. "Maafkan Arum, Pak. Arum sudah su'udzon. Arum pikir, Pak Zuhan meragukan cinta ini."

"Aku sangat percaya, Rum. Kamu Khadijahku. Trimakasih karena selalu menghargai keberadaan suamimu."

Benar saja, cinta butuh kepercayaan, bukan keraguan. Dengan begitu, setiap pasangan bisa saling menguatkan. Arum dan Zuhan bertekad untuk memegang teguh modal itu untuk mengarungi biduk rumah tangga.

Kini, Arum tengah kembali duduk bersandar di ranjang sedang Zuhan duduk di kursi kecil, tepat di sampingnya. Lelaki itu tak henti-hentinya mengelus perut Arum membuat yang dielus terus terkekeh menahan geli. Sesederhana itu menciptakan moment bercengkrama yang membahagiakan bersama tambatan hati.

Arum mengelus rambut Zuhan saat terasa kecupan halus di perut ratanya. "Assalamualaikum, Nak. Sehat-sehat di dalam. Kamu penguat Umma dan Buya, Nak. Kami sangat mencintaimu."

Kata dan doa penyejuk jiwa. Rupanya, Zuhan benar-benar siap menjadi sosok Ayah. Sedang Arum tersenyum haru mendengar setiap deretan kata yang ditujukan pada buah hatinya. Sungguh, tak ada alasan untuk tidak mencintai pria seperti Zuhan. Begitulah batinnya tenang.

"Trimakasih, Pak. Kelak, anak kita pasti sangat bangga mempunya sosok Ayah seperti njenengan," ucap Arum sambil mengelus perutnya.

"Lebih bangga lagi karena memiliki Umma hebat sepertimu, Rum," balas Zuhan pelan.

Arum tersenyum mendengar itu. Sejenak, ia merasa bingung saat sang suami tetiba diam dengan tatapan kosong. Lelaki berparas manis itu seolah menyimpan sesuatu yang menohok dada. Tak mau membiarkan sang suami terlalu larut dalam lamunan, Arum mengelus bahunya pelan, membuat Zuhan menatapnya dengan pandangan begitu sayu.

"Pengen sesuatu, Rum?"

Arum tersenyum dan mengangguk. "Arum ingin Pak Zuhan tersenyum, bukan bersedih."

Pernyataan Arum berhasil menciptakan kekehan ringan. Namun, itu hanya berlangsung seperkian detik hingga pada akhirnya Zuhan kembali geming.

Agaknya, Arum mulai berpikir keras. Tetiba pikirannya tertuju pada satu nama. Ah, ia mulai menerka apa yang sedang mengganggu pikiran Zuhan.

"Apa Pak Zuhan sedang memikirkan Mas Syafiq?"

Zuhan mengusap wajah dan menghembuskan napas pelan. Baginya, melihat sang adik tersiksa dengan jeratan cinta seorang perempuan yang telah menjadi istrinya sungguh melindas jiwa raga. Bahkan jika diukur, rasa sakit yang diraskan jauh lebih parah dibanding Syafiq. Bagaimana tidak? Rasa berdosa terus menghantui meski tak bisa dipungkiri bahwa dia sendiri pun bahagia dengan keberadaan Arum.

"Pak?" tanya Arum lagi.

"Aku ikut tersiksa melihatnya seperti itu, Rum."

Ada yang meremas-remas sanubari saat kalimat itu terucap. Arum sangat paham itu. Dielusnya rambut hitam legam Zuhan, berusaha menguatkan.

"Ini bukan salah Pak Zuhan. Arum yang memilih Pak Zuhan, tanpa paksaan. Pak Zuhan ingat itu, kan?"

Lelaki itu mengangguk. Sangat terecetak jelas dalam memori bagaimana dulu ia mengikhlaskan Arum untuk Syafiq. Sayang, yang diikhlaskan justru memilih untuk bertahan hingga berujung ke jenjang pernikahan. Sejak saat itu, bayangan Syafiq berperang dengan perasaan begitu merajam jiwa.

"Sangat ingat, Rum. Aku hanya merasa telah merampas hak adikku."

"Seperti halnya Arum yang telah merampas kebahagiaan Mbak Zulfa, bukan begitu, Pak?"

Zuhan mendongak seketika sedang Arum tak sadar telah meneteskan air mata. Ia lelah jika harus memikirkan keruwetan ini.

"Pak Zuhan sering bilang sama Arum kalau ini semua takdir. Lalu, kenapa Pak Zuhan harus menciptakan keterpurukan ini lagi? Apa njenengan mau mengajak Arum untuk melawan takdir?"

Skakmat. Zuhan seketika bungkam. Yang dikatakan Arum semuanya benar, membuatnya tak bisa berkutik. Ia ingat betul bagaimana Arum sering menangisi Zulfa sedang dirinya berusaha menguatkan. Namun sekarang, ia kembali membuka luka-luka itu. Ah, keduanya sama-sama menyalahkan diri sendiri.

Zuhan menatap Arum begitu dalam. Kesepuluh jemari tangannya bersatu dengan jari-jemari Arum. "Jangan bicara seperti itu, Rum. Kita sudah berjanji untuk terus bertahan, bukan?"

"Kalau begitu, jangan lagi bersedih di hadapan Arum, Pak. Cukup Arum saja yang tahu rasanya. Itu sangat sakit, Pak."

Keduanya kembali merenung. Kening mereka bersatu, pun tetesan air mata jatuh bersamaan. Ruangan begitu senyap, hanya isakan-isakan yang terdengar menggelegar. Seperti pinta Arum, pasangan itu sedang memupuk rasa sabar untuk mengikuti arus takdir, bukan melawan takdir.

***

Beberapa jam berlalu. Waktu terus bergulir, pagi berubah siang, pun siang menjadi sore. Tampak mata Arum sedikit sembap akibat tangisan pagi tadi. Ia menatap sang suami yang sibuk merapikan dan memasukkan barang-barang ke dalam ransel hitam. Ada rasa lega membersamai sukmanya. Ah, ia sungguh rindu keharmonisan bersama Zuhan dan Abah Umar di rumah.

"Sudah selesai. Kita pulang sekarang, Rum."

Arum mengangguk mantap. Ia menuruni ranjang dan menggandeng tangan Zuhan. Keduanya keluar kamar dengan wajah sumringah. Kamar demi kamar dilewati. Namun, Arum terpaksa berhenti saat langkah kaki Zuhan tak lagi beranjak. Sesaat, ia tersadar berada di depan kamar siapa sekarang. Sekali lagi, bibirnya ingin mengumpat, tetapi nurani sungguh menolak.

"Apa tidak bisa jika langsung pulang, Pak?"

Arum seketika menunduk saat sorot mata Zuhan sedikit menyalang. Ah, ia takut sekarang. Entah kenapa, ia merasa hubungannya kembali di ujung tanduk. Sesaat, Arum kembali lega saat terasa sentuhan halus di punggung tangan. Ia kembali mendongak, memberanikan diri untuk menatap Zuhan.

"Itu akan jauh lebih menyakitkan, Rum. Jangan sampai perkara tadi pagi membuat kita lupa adab," jelas Zuhan dengan senyuman manis.

Bod*h! Begitulah batin Arum. Semua yang dikatakan Zuhan selalu benar. Ah, ia malu sekarang.

"Maaf, Pak. Kalau begitu, njenengan saja yang masuk. Arum tunggu di sini," balasnya lirih yang dijawab Zuhan dengan anggukan.

Kini, Zuhan membuka pintu, menyisakan Arum yang merasakan jantungnya berdetak cepat. Ia sangat takut dan bersembunyi di balik dinding bercat putih. Sedang Zuhan terus melangkah, memasang wajah bahagia untuk menemui sang adik.

"Fiq, aku pulang dulu. Insyaa Allah, nanti ke sini lagi."

Syafiq mengangguk lemah tanpa menghadap Zuhan. Hingga beberapa detik, Zuhan merasa lelah diabaikan dan memilih beranjak keluar.

"Kak, aku minta maaf."

Zuhan menghentikan langkah seketika saat langgam suara Syafiq menembus kedua telinga. Dengan perasaan yang sulit diartikan, Zuhan berbalik dan mencoba relaks.

"Aku sudah melanggar janji, tapi aku akan terus berusaha memperbaiki. Maafkan aku, kak," lanjut Syafiq pelan.

Zuhan sungguh paham arah pembicaraan itu. Tak mau menyulut api, ia mengelus bahu Syafiq yang terlilit perban. "Aku juga minta maaf. Tenang saja, aku baik-baik saja."

"Kisah kita sangat rumit ya, kak."

Lagi, ada yang menusuk hati. Zuhan hanya diam, tak berniat menyahuti ucapan Syafiq.

"Kenapa Allah hanya membuat kakiku cedera? Kenapa bukan kepalaku, kak?"

"Astaghfirullah. Apa maksudmu, Fiq?"

Kali ini, ia tak lagi bisa diam. Kalimat adiknya begitu tak pantas didengar. Sesungguhnya, ada rasa takut. Ia sangat takut jika Syafiq begitu terpuruk dan putus asa atas segala ketentuan Tuhan.

Sedang Syafiq menatap Zuhan begitu dalam. "Barangkali dengan amnesia, kita bisa sama-sama bahagia, kak. Syafiq lupa Arum dan kalian berdua bisa hidup bebas tanpa bayang-bayangku."

"Demi Allah! Jangan menyalahi takdir, Fiq!"

Zuhan tersengal mengatakan semua itu. Napasnya naik turun tak beraturan. Permintaan macam apa itu? Ia ingin marah, tetapi ia tahan. Sejenak, Zuhan memegang kedua bahu Syafiq. Ia tatap lekat sang adik, berharap mampu menghilangkan kegusaran.

"Jangan pernah berucap seperti itu lagi, Fiq," ucapnya tenang.

"Kak, bantu aku agar segera sembuh. Dengan begitu, aku bisa kembali ke Jogja dan tidak lagi melihatnya."

"Syafiq ..." lagi, Zuhan menahan segala sesak mendengar Syafiq yang begitu memelas.

"Bilang iya, kak. Bilang, iya."

Permintaan itu memaksa Zuhan untuk mengangguk. Ah, ia sangat tak tahan dan ingin sekali menangis. Hanya saja, logikanya tak mengizinkan. Maka, berpura-pura tegar adalah pilihan terbaik sekarang.

"Kamu akan sembuh. Lukamu ringan. Kamu pasti segera bisa berjalan normal dan pergi sesukamu," ia memeluk Syafiq, mengelus punggung sang adik.

Zuhan menghirup napas dalam dan mengeluarkannya perlahan. Tangannya mengusap sudut mata yang sudah berair. Setelahnya, ia lepas lagi rengkuhan itu. Tangannya kembali memegang bahu Syafiq.

"Satu hal yang harus kamu tahu, pasti ada wanita sholihah yang sedang menunggumu."

"Ya Allah ... kenapa rasanya sesakit ini?" lirih Arum sembari memegangi dada saat mendengar percakapan dua kakak beradik itu.

💕💕💕💕

😭😭😭😭 Maaf, hari ini aku mengajak kalian menangis lagi. Semoga next part bisa bahagia bersama.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tulang Rusuk Part 1

Tulang Rusuk Part 14

Tulang Rusuk Part 15