Tulang Rusuk Part 43

  #Tulang_Rusuk Judul : Tulang Rusuk Part 43 : Forever Dalam ruangan seeba putih, Zuhan memandang sendu Arum yang terbaring lemah. Ia usap lembut pipi istrinya, pun mengecvp keningnya. Ada rasa haru serta sakit menyeruak, membuatnya ingin sekali menangis. Ah, bukan hanya ingin, karena kenyataannya, cairan kristal sudah mengintip di sudut mata. Gegas Zuhan mengusapnya sembari menoleh ke sembarang arah. "Yaa Fattaah ..." ucap Zuhan menahan tangis hingga tujuh kali pengulangan sembari mengusap perut Arum. "Pak, Ibu sudah terlalu lemas. Kita harus segera melakukan tindakan operasi caesar." Zuhan semakin panik, ditambah ia mengingat akan bahaya plasenta previa jika Arum memaksa untuk lahiran normal. Berkali-kali, ia membujuk, tetap gelengan kepala yang ditunjukkan Arum. "Izinkan Arum berusaha sekali lagi, Pak," mohon Arum dengan suara yang teramat pelan. "Aku mohon, Rum, jangan memaksa. Please, dengarkan aku." "Sekali ini saja...

Tulang Rusuk Part 27

 

#Tulang_Rusuk

Judul : Tulang Rusuk


Part 27 : Antara Takut dan Cemburu

Ruangan bernuansa putih terasa mendamaikan. Tiga insan menikmati sarapan dengan tenang. Arumi Khadijah dengan tulus memanjakan sang suami, mulai dari mengambilkan menu makanan, minuman, dan segala yang diinginkan. Sesekali, perempuan itu menyinggung sedikit kegiatan Zuhan. Usai makan, obrolan hingga canda tawa mulai tercipta di antara Arum dan Zuhan sedang sang Abah beranjak entah ke mana.

"Nanti bimbingan sampai jam berapa, Pak?" tanya Arum sembari membersihkan meja makan.

"Mungkin jam 1. Kamu?"

"Sama kayaknya, Pak."

Tak ada lagi yang dibicarakan, keduanya kembali ke kamar, bersiap untuk pergi menjalankan tugas perkuliahan. Hanya butuh waktu singkat bagi mahasiswi semester akhir itu untuk berdandan, pun Zuhan yang tak pernah cerewet dengan segala hal, terlebih masalah pakaian.

Kini, tepat pukul setengah sembilan pagi, Arum tengah duduk bersama temannya dalam ruang kelas. Sembari menunggu dosen datang, keduanya berbicara apapapun. Tak disangka, sosok yang dikenal sebagai Alya pun mulai bertanya-tanya tentang cinta seorang pria bernamakan Zuhan pada Arumi Khadijah.

"Rum, Pak Zuhan itu cinta banget ya sama Kamu."

Pertanyaan itu sukses membuat Arun hampir tersedak air mineral yang sedang ia minum. Dalam hati, ia ingin sekali tertawa merutuki kekonyolannya. Kenapa pula harus terkejut? Bukankah Alya sedikit banyak sudah tahu semua kisah cintanya?

"Kenapa tanya seperti itu?" Arum balik bertanya dengan nada yang teramat santai meski dalam hati masih menyimpan keterkejutan.

"Kelihatan aja sih. Betul, kan?"

Kali ini, senyumnya terbit, membuat sang teman ikut terkekeh. "Bahkan saat aku melukai perasaannya, beliau tetep bersikap lembut."

"Kalau kamu?"

"Aku sangat menyayanginya," jawab Arum tanpa ragu.

"Cyeeee. Semoga segera tumbuh benih-benih cinta ya, Rum. Semangat berjuang."

Pasalnya, Alya tahu betul bagaimana perasaan seorang Arumi Khadijah mengingat perempuan itu sering bertutur kisah tentang perasaan terpendamnya pada sosok Syafiq Albana. Tak heran jika Alya menanyakan itu. Hanya saja, Arum tak menceritakan secara detail bagaimana kisah pernikahannya, hubungan Syafiq dengan Zuhan, pun Zulfa yang mencintai suaminya. Ah, jika dibicarakan ulang, luka yang hampir kering akan kembali basah.

Beberapa jam berlalu, Arum duduk sendiri di dalam kelas, menunggu notif pesan dari Zuhan. Diliriknya jam di pergelangan tangan yang menunjukkan angka satu. Merasa lelah menunggu, Arum mencoba mengurimkan pesan pada sang suami.

[Assalamualaikum. Sudah selesai, Pak?]

Hingga lima menit, kolom chat masih menunjukkan centak abu satu. Sesaat, Arum kembali melirik jarum jam yang menunjukkan angka hampir setengah dua. Ah, mungkin sudah selesai, begitulah bathinnya mengingat sang suami mengatakan bahwa bimbingan akan usai sekitar jam satu tadi pagi. Ia pun beranjak dan berjalan ke ruangan dosen.

"Siang, Bu," sapa Arum saat berpapasan dengan Dosen perempuan.

"Eh, Mbak Arumi. Cari Pak Zuhan?"

Yang ditanya hanya mengangguk sungkan.

"Tadi ada di ruangan, Mbak. Mari."

"Trimakasih, Bu."

Kali ini, ia tersenyum sumringah dan berjalan cepat untuk menemui suaminya. Hingga tiba di depan ruangan, ia melangkah pelan, hendak mengejutkan Zuhan. Senyumnya terus mengembang sambil celingukan.

"Pak Zu-"

Ucapannya tertahan melihat apa yang terjadi. Seketika ada rasa nyeri dan ketakutan dalam hati. Ia tak mampu melanjutkan kata, pun tetap diam mematung di tempat. Bagaimana tidak? Zuhan menopang tubuh Zulfa yang hampir terjungkal. Ah, ia tak berburuk sangka, pun terlihat jelas bahwa sang suami hanya bersikap siaga untuk membantu sepupunya jika dilihat dari posisi keduanya. Hanya saja, ia tetap wanita biasa yang bisa merasakan sensasi cemburu meski hanya sedikit. Ah, benarkah dia cemburu? Entahlah, yang pasti, ada rasa tak rela sang suami menyentuh perempuan lain.

"Arum, ini nggak-"

"Arum paham kok, Pak," Arum tersenyum dan tetap berjalan masuk.

Sesaat, ia menyunggingkan bibir ke arah Zulfa meski gadis itu membuang muka. Setelahnya, tanpa sungkan, Arum menci*m punggung tangan suaminya, membuat Zulfa merasakan nyeri di dada. Ah, salahkah dirinya menjalankan adab sebagai seorang istri?

"Mbak Zulfa, apa kabar?"

"Baik, Rum," jawab Zulfa tanpa menatapnya.

Menyadari itu, Zuhan mengelus punggung tangan Arum sembari mengedipkan kedua mata perlahan seolah berharap agar istrinya tenang dan semua akan baik-baik saja.

"Zulfa sedang bimbingan, Rum. Tadi, dia telat," ucap Zuhan menjelaskan.

Arum mengangguk dan mengambil kursi, menempatkannya tepat bersebelahan dengan Zuhan. "Lanjutkan saja, Pak, Mbak."

Tak ada lagi yang perlu dibicarakan, Dosen Matematika itu mulai melakukan bimbingan dengan Zulfa sedang Arum mendengarkannya sembari menopang dagu. Sesekali, ia memainkan ponsel untuk mengusir rasa bosan. Tetiba kantuk melanda, membuatnya menguap berulang-ulang sedang Zuhan terkekeh melihatnya.

"Ngantuk, Rum?" tanya Zuhan gemas.

"Eh, nggak kok, Pak," kilah Arum sungkan.

Menit demi menit berlalu, Arum mulai kehilangan kesadarannya hingga menjatuhkan kepalanya begitu saja di atas meja. Sedang Zuhan mulai tak tenang selama menjelaskan saat melihat posisi Arum yang kurang bagus menurutnya. Pikirnya, itu hanya akan membuatnya sakit punggung dan kepala.

Sesaat, ia tersenyum manis, menegakkan tubuh sang istri, hingga bersandar di kursi empuk. Setelahnya, dia memposisikan bahunya sebagai bantalan kepala Arum. Ia pun mengelus kepalanya pelan. Entah kenapa, ia seolah lupa bahwa ada yang mengamatinya sedari tadi hingga tanpa rasa malu, lelaki itu menci*um pucuk kepala Arum.

"Semoga lelahmu lillah, sayang."

"Ekhem, sa-ya permisi, Pak. Sepertinya, Arum capek. Assalamualaikum," pamit Zulfa dan mengambil paksa skripsi yang ada di hadapan Zuhan.

Mendengar itu, Zuhan tersentak dan menoleh ke arah Zulfa. "Lho, ta-" Ia menghembuskan napas pelan sembari mengusap wajahnya. "Waalaikumsalam. Astaghfirullah, semoga nggak ada apa-apa."

Kini, Zuhan membereskan semua perkakas mengajarnya dan bersiap pulang sementara Arum masih tampak pulas dalam tidurnya.

"Rum, bangun. Ayo, pulang!"

See! Perempuan itu langsung mengerjap dan mengedarkan pandangan. Sesaat, ia tersadar apa yang telah terjadi. Ah, ia ketiduran sedari tadi. Merasa ada yang aneh, ia kembali terdiam hingga menyadari akan satu hal. Zulfa. Ya, Arum kepikiran akan gadis itu.

"Mbak Zulfa ..."

"Sudah, keluar. Ayo, pulang!"

"Sebentar, Pak. Arum ke kamar mandi dulu."

Perempuan itu melambatkan langkah sembari membenarkan hijab yang sedikit acak-acakan. Hingga sampai di area toilet, kakinya terasa lemas, berhenti seketika. Ia tersenyum kaku, tetapi berusaha relax. Di hadapannya, perempuan bergamis cokelar dengan hijab senada baru saja keluar dari kamar mandi. Tatapan itu menyalang, membuat Arum mati kutu.

"Mbak ..." panggilnya mencoba relax.

"Apa kamu sengaja, Rum?"

"Maksudnya?" Sungguh, ia tak paham arah pembicaraan Zulfa yang tiba-tiba memojokkannya.

"Nggak usah pura-pura, Rum. Kamu sengaja menunjukkan kemesraan dengan Pak Zuhan di depanku, kan? Selamat! Kamu berhasil."

"Mbak, Arum-"

Tangan Arum terulur, menyentuh pundak Zulfa sementara Zulfa menepisnya begitu saja. Tepisan itu terasa sangat kasar hingga membuat Arum tertohok. Hatinya begitu sakit saat sang kakak benar-benar menolak niat baiknya untuk mengikis jarak. Ah, ia tak tahu lagi harus berbuat apa.

"Mbak, tolong, jangan seperti ini. Kita ini saudara, Mbak."

Seketika Zulfa manu sejengkal, membuat Arum mundur ke belakang. Sekali lagi, tatapan gadis di depannya begitu menyeramkan, seolah ingin sekali menerkamnya. Andai memungkinkan, ia ingin sekali berteriak kencang.

"Mbak, kenapa jadi seperti ini? Bukankah dulu, Mbak mengizinkan Arum untuk menerima Pak Zuhan?" tanyanya dengan nada bergetar dan ketakutan.

"Kamu benar, Rum, tapi kamu tidak lupa dengan ucapanku, kan?"

"Demi Allah, Mbak. Arum dan Mas Syafiq tidak ada hubungan apa-apa. Mbk Zulfa juga bisa lihat kalau hubungan Arum dan Pak Zuhan baik-baik saja."

"Sayangnya, aku sudah terlanjur kecewa, Rum. Kamu tahu kenapa? Itu karena aku masih sangat mencintai Pak Zuhan."

Luruh sudah air matanya. Ia tak kuat mendengar kenyataan itu. Bagaimana mungkin sesama saudara mencintai pria yang sama? Bahkan, pria itu sudah sah menjadi suaminya. Entahlah, ia bingung harus menyalahkan siapa, pun Zulfa sedang dalam keadaan tertekan sekarang, layaknya dirinya yang juga pernah berjuang mati-matian menghapus jejak Syafiq Albana.

"Istighfar, Mbak. Mbak Zulfa sadar kan siapa yang Mbak cintai. Beliau pria beristri. Beliau suaminya Arum, adikmu, Mbak."

"Tidak akan berdosa kalau kamu mengikhlaskan aku menjadi istrinya juga."

Plak

Dada Arum bergemuruh mendengar penuturan itu hingga tanpa aba-aba, tangan mulusnya menampar pipi kiri Zulfa begitu saja. Sesaat, ia membeku, menyadari apa yang telah diperbuat itu salah. Matanya terpejam memihat sang kakak merungis merasakan perih di area pipi.

"Tamparan ini adalah bukti bahwa kamu bukanlah adikku," ungkap Zulfa lantang sembari memegang bekas tamparan Arum dan melenggang pergi begitu saja.

Kini, tersisa Arum yang menumpahkan seluruh air mata. Ia mengeluarkan tangisan beserta isakan. "Astaghfirullahal 'adziim."

Arum memandangi tangannya sembari mengeluarkan air mata. Ada rasa sesal mendera bebarengan dengan rasa sesak di dada. Sungguh, ia masih belum bisa percaya perempuan yang dulu begitu lembut hatinya bisa berbicara semenyakitkan itu. Ia mundur sejengkal hingga punggungnya menatap dinding, membuat dirinya luruh ke lantai sembari mengeluarkan derai air mata.

"Kenapa Mbak Zulfa bisa berpikiran seperti itu?" Monolognya sembari membenamkan wajah pada kedua lutut.

"Ya Allah, Arum. Kenapa?"

Ah, rupanya, sang suami datang di saat yang tepat. Namun, lelaki itu sungguh panik melihat istrinya dalam keadaan tak karuan. Sedang Arum tetap menangis, tak menyahuti, bahkan tak sedikitpun menoleh ke arah Zuhan.

"Ya Allah, sayang. Sudah, ayo, pulang," tenang Zuhan sembari mendongakkan wajah Arum uahg sudah penuh air mata.

Sementara Arum masih menggelang, menjatuhkan kepalanya pada tubuh Zuhan. Ia tumpahkan segala kegundahan, membuat Zuhan semakin kelimpungan. Sejatinya, tangisan sang istri adalah kelemahan seorang suami.

"Pulang, Rum. Tenang, ada aku."

"Pak Zuhan ... Arum ..."

"Jangan bicara apa-apa dulu. Kita pulang sekarang."

Zuhan tak bisa menunggu lama. Ia pun membopong sang istri yang masih menangis. Ia paham betul betapa istrinya begitu tertekan sekarang. Hanya saja, ia tak tahu pasti apa penyebabnya. Selama menyusuri lorong kampus, Zuhan tak henti-hentinya menenangkan Arum. Sungguh, siapapun yang melihat akan merasa iri betapa wanita itu dicintai seorang Zuhan.

"Aku sakit hati, ya Allah. Kenapa mencintai sendiri begitu perih?" ucap Zulfa, menatap Zuhan dan Arum dari kejauhan, dengan nada yang begitu parau.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tulang Rusuk Part 14

Tulang Rusuk Part 41