Tulang Rusuk Part 43

  #Tulang_Rusuk Judul : Tulang Rusuk Part 43 : Forever Dalam ruangan seeba putih, Zuhan memandang sendu Arum yang terbaring lemah. Ia usap lembut pipi istrinya, pun mengecvp keningnya. Ada rasa haru serta sakit menyeruak, membuatnya ingin sekali menangis. Ah, bukan hanya ingin, karena kenyataannya, cairan kristal sudah mengintip di sudut mata. Gegas Zuhan mengusapnya sembari menoleh ke sembarang arah. "Yaa Fattaah ..." ucap Zuhan menahan tangis hingga tujuh kali pengulangan sembari mengusap perut Arum. "Pak, Ibu sudah terlalu lemas. Kita harus segera melakukan tindakan operasi caesar." Zuhan semakin panik, ditambah ia mengingat akan bahaya plasenta previa jika Arum memaksa untuk lahiran normal. Berkali-kali, ia membujuk, tetap gelengan kepala yang ditunjukkan Arum. "Izinkan Arum berusaha sekali lagi, Pak," mohon Arum dengan suara yang teramat pelan. "Aku mohon, Rum, jangan memaksa. Please, dengarkan aku." "Sekali ini saja

Tulang Rusuk Part 1

 "Saya ke sini memang untuk melamarmu, Rum, bukan Zulfa."


"Maaf, Pak. Saya mencintai Mas Syafiq, adik Bapak."


💕💕


Tulang Rusuk -> part 1

Karya: Zahidah H.M. 


"Nduk, cepet siap-siap. Sebentar lagi, tamunya datang."


Arum menoleh, menatap Pakdhe Hasan yang berdiri di ambang pintu. Lalu, ia mengangguk dan tersenyum, meng-iya-kan perintah sosok pria yang telah merawatnya sepeninggal abah dan ummahnya. 


Gegas ia menutup lembaran yang sempat ia gores dengan tinta hitam. Ah, ya, dia baru saja menulis sepenggal kisah, tentang bagaimana nama seorang pria telah bertahta di singgana hatinya, Arumi Khadijah. 


Sudah. Arum tidak mau memikirkan itu dulu. Ada yang lebih penting sekarang, menemani kakak sepupu yang hendak dipinang seseorang. 


"Beruntung sekali kamu, Mbak," lirihnya seraya tersenyum sendu. 


Sesuai perintah, Arum beranjak tuk berbenah diri. Melangkahlah kakinya menuju kamar mandi berukuran kecil di sudut ruangan. Gemericik air yang membasahi tubuh mampu melebur segala kesedihan yang mengendap dalam dada . Hingga 15 menit berlalu, rasa segar tak hanya dirasakan tubuh melainkan juga hati sang empunya. 


Jika mereka menghabiskan 2 jam tuk berdandan, itu tak berlaku untuknya. Hanya dalam kurun waktu 1 jam, Arum telah tampil menawan, polesan natural yang begitu menenangkan, tanpa pemerah bibir, hanya sisa air wudhu yang membasahi warna ranumnya. Himar hitam yang dipadukan dengan gamis gold menciptakan kesan menawan.


Kini, kakinya mengayun perlahan menuju kamar pojokan. Dibukalah pintu bercat cokelat hingga menampakkan sosok perempuan yang sedang mematut diri di depan kaca. Gamis abu dengan himar senada melekat indah. Mahkota kecil yang bertengger di atas kepala berbalut kain menambah keanggunan parasnya. Bibir dengan sedikit pewarna pink itu melengkung menciptakan kesan istimewa pada perangai santunnya.


"MaaSyaa Allah, ini mbak Annisa Zulfa? Cantik sekali."


Perempuan itu menoleh dengan gaya anggun. Arum melenggang masuk, berdiri tepat di belakang sosok yang berstatus sebagai kakak sepupunya. 


"Arum. Mbak deg-degan."


Dua anak Adam itu saling memeluk, melepas kegelisahan. Namun, percayalah! Hati penyandang nama Zulfa itu sungguh berbunga. 


"Cyee. Bentar lagi Pak Zuhan datang, Mbak." Ah, Arum semakin menggoda hingga semburat merah muncul di pipi tanpa aba.


"Ya Allah, Mbak nggak nyangka kalau cinta Mbak terbalaskan, Rum."


"Indah ya, Mbak. Cinta dalam diam seperti kisah Ali dan Fatimah."


Dan ... obrolan keduanya berhenti seketika saat wanita paruh baya mengintip di balik pintu. Tampak bibirnya mengembang dengan mata berbinar. Diam-diam, Arum melirik sang kakak, berharap segera berdiri dan menanyakan ada apakah gerangan.


"Zulfa, Nak Zuhan dan keluarga sudah datang."


Benar saja, mata yang mulanya sendu seketika membelalak kala kabar menyenangkan itu datang. Bibirnya tersungging membuat Arum ikut memekik kesenangan. Ah, kenapa harus dia yang terlihat lebih berbinar?


"Kenapa, Rum? Kok seneng banget?" tanya Zulfa dengan raut heran.


Arum mendekat, berbisik di telinga kanan kakaknya. 


"Mbak, kalau Pak Zuhan datang, artinya dia juga datang."


"Maksudmu sy-"


"Sstt, diam, mbak! Ayo keluar!" 


Dua gadis anggun itu melangkah keluar dengan degup jantung yang saling bersahutan. Jari-jemarinya saling bertautan tuk menghilangkan kegugupan. 


Tiba di ruang tamu, keduanya duduk menunduk. Diam-diam, mata Arum mencari keberadaan seseorang yang diharapkan datang. Sayang, asanya sirna begitu saja. 


"Ini putri kami, Annisa Zulfa dan Arumi Khadijah," jelas Hasan memperkenalkan kedua putri kebanggaannya.


"Maasyaa Allah, putri njenengan ayu-ayu," puji seorang pria paruh baya yang dilanjutkan dengan melirik putra sulungnya. "Han?"


Dengan suara sedikit berat, pria yang ditanya menjawab dengan memasang senyum manis. 


"Nggih, Bah."


"Alhamdulillah." 


Pria berbaju kokoh putih dengan sarung hitam itu mengusap wajah penuh syukur. 


"Bismillahirrahmaanirrahiim. Bapak Hasan, Ibu Salamah, kedatangan kami kemari untuk bersilaturrahmi. Selain itu, kami juga ingin mempererat hubungan keluarga dengan menjadikan salah satu putri njenengan sebagai istri anak kami, Arshad Zuhan."


"Alhamdulillah. Suatu kehormatan bagi kami, Pak."


"Zuhan, ayo ngomong!" tegas sang Abah sembari menyenggol lengan pria yang dipanggil Arshad Zuhan.


Lihat! Arum ikut menegang, keringat dingin membalut tangan serta jemari lentiknya. Wajahnya menampakkan kegugupan hingga bibirnya tak berhenti merapalkan basmalah untuk mencari ketenangan. Ah, bukan dia yang mendapat pinangan namun ritme jantungnya menciptakan irama DJ yang begitu cepat.

 

"Bismillahirrahmaanirrahiim. Bapak, Ibu, saya mohon izin untuk mengkhitbah putri njenengan," ia berhenti sejenak melirik ke salah satu gadis yang duduk berdampingan. "Arumi Khadijah."


Arumi Khadijah? Sungguhkah? Bukankah itu namanya? Kenapa tidak Annisa Zulfa, kakak sepupunya? Hening, tak seorangpun bersuara sedang yang dinanti jawabnya masih setia bergelut dengan pikirannya.


"B--bagaimana Nduk Arumi?"


Pertanyaan itu ... Arum tidak sanggup. Ada lara tersirat dari pertanyaan yang dilisankan Pakdhe Hasan. Tidak. Ini pasti salah. Begitulah pikirnya. 


Lalu, Arum melirik kakak sepupu yang duduk mematung di sampingnya. Tampak mata dengan manik hitam kecoklatan itu mulai berkaca. Wajah ayu itu menampakkan luka dengan bibir tipis menahan tangis, terlihat dari bentuknya yang sedikit melengkung ke bawah. 


"Pak, ngapunten, putri-"


"Sebentar ya, Pak. Sepertinya Arum butuh waktu. Monggo, diiunjuk dulu." Abah Hasan menyela, berharap sang istri tak melanjutkan sepatah kata di hadapan tamu agung. 


"Arum sama Zulfa ikut Abah ke dalam!" titahnya pelan pada dua putri yang ia bangga-banggakan.


Dalam kamar bernuansa klasik dengan gaya epic, Arum sakit melihat putri dari Hasan, Annisa Zulfa, telah menangis sesenggukan. Remuk redam sudah hatinya. Perasaan kecewa menguar hingga ke urat nadi. 


"Apa maksud semua ini, Bah? Jelaskan!" Suara itu begitu parau hingga mencabik-cabik hati yang mendengar.


"Nduk ..."


Lagi, gadis itu masih meraung, "Zulfa kurang apa, Bah?"


"Nggak ada yang kurang dalam dirimu, Nduk. Zulfa cantik, sholihah, pendidikannya juga bagus."


"Lalu, kenapa Pak Zuhan malah memilih Arum? Bukankah beliau ke sini untuk melamar Zulfa?"


Pertanyaan itu bukan ditujukan pada Arum, tetapi begitu menampar hatinya. 'Beginikah rasa sakit yang kamu rasakan, Mbak?' batinnya lirih. 


"Mbak-"


Zulfa berdiri dengan wajah memerah. Kakinya melangkah sejengkal, mendekat ke arah Arum yang ikut merenung.


"Kenapa kamu juga berdandan secantik ini, Rum? Apakah kamu berniat memikat hatinya? Bukankah kamu tau kalau dari dulu Mbakmu ini menyukainya?"


Lihat! Pertanyaan itu menohok hatinya. Tak tahukah dia bahwa penyandang nama Arumi pun ikut merasakan kekecewaan? Tak pahamkah dirinya bahwa bukan keadaan semacam ini yang diharapkan? 


"M-bak, Arum-"

"Keluar!"

"Mbak-"

"Keluar dan tolak pinangannya!"

"Nduk, tenang!"

"Keluar!"


Tangisnya semakin pecah hingga membuat hati Arum begitu tersayat. Ia tak kuat dan memilih keluar. Di sela langkah, gadis itu mengusap cairan yang sudah bergelayut di sudut mata. Sesekali, tangannya mengibas ke arah wajah berharap resah menghilang seketika.


"Arum!"


Diam, beku, jantung berpacu, semua menyergap tubuhnya bersamaan. Ia begitu sulit mendongak. Sungguh, andai alam memihak, Arum lebih memilih tenggelam dibanding berdiri di tengah situasi sulit seperti ini.


"Bisa bicara sebentar di belakang?"


Mengangguk, hanya itu yang ia tampakkan. Gadis dengan jemari yang dipenuhi keringat dingin melangkah pelan mengikuti pria di depannya. Hingga tiba di belakang rumah, ditemani lampu temaram, Arum berdiri di depan Zuhan yang sudah duduk tenang di kursi kayu cokelat.


"Duduklah, Rum! Saya nggak akan menerkammu."


Konyol sekali perkataan itu? Di tengah situasi genting, bagaimana sosok pria berstatus dosen itu masih mampu memperlihatkan kharismanya yang menenangkan?


"Arumi Khadijah?"


"I-iya, Pak. Arum duduk."


Dengan hati tak menentu, pikiran melayang tertuju pada kakak tercinta, Arum merasakan lemas di tubuh saat hendak duduk di samping Zuhan.


"Arum, maafkan saya. Saya-"


"Kenapa harus saya, Pak? Bukankah Bapak kemari untuk melamar Mbak Zulfa?" 


Rupanya, gadis itu sudah tak tahan dan memberondong sang pria dengan banyak pertanyaan.


"Rum-"

"Mbak Zulfa sakit, Pak. Bukan hanya itu, Arum menjadi sasarannya. Arum tersangka di sini."


Mata yang mulanya hanya mengembun kini berubah tangisan. Isakannya lolos sebagai wujud betapa dia juga merasakan kecewa.


"Ya Allah, maksud saya bukan begitu. Saya kemari memang untuk melamarmu, bukan Zulfa."


Seketika, Arum menoleh dengan tatapan tajam. "Apa maksud njenengan?"


"Saya mencintaimu, sejak pertama kali mengajarmu di semester 1."


Cinta? Semester 1? Dua kata itu membuatnya ingat akan satu nama. Ya, nama pria yang ia incar sedari tadi. 


"Maaf, Pak. Saya mencintai Mas Syafiq, adik Bapak."

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tulang Rusuk Part 14

Tulang Rusuk Part 15